Senin, 12 November 2007

Positivisme Pembunuh Ilmu Komunikasi?

Judul Buku:
Matinya Ilmu Komunikasi
Penulis:
St Tri Guntur Narwaya
Penerbit:
Resist Book, Mei 2006
Tebal:
xv + 230 hlm


Membaca judul buku ini, terlintas di benak, ada uraian berbagai fakta empiris yang mengarah pada kesimpulan: ilmu komunikasi saat ini memang telah mati, atau nyaris mati. Demikiankah? Tidak. Buku ini bukanlah tempat untuk menjawab harapan itu. Menurut saya buku ini sangat miskin fakta empiris. Namun, meskipun miskin fakta, buku ini sangat kaya teori. Di sinilah tempat berkumpulnya teori-teori tentang ilmu komunikasi, yaitu fondasi yang menjadi asar perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia saat ini. Ada penelanjangan dan gugatan terhadap teori-teori tersebut, dan tentu, sekaligus tawaran alternatifnya.

Seperti juga diakui oleh penulisnya, St Tri Guntur Narwaya, analisis buku “Matinya Ilmu Komunikasi” ini lebih menggunakan pendekatan filsafat. Konsekwensinya, Guntur banyak berkutat pada bangunan dasar ilmu komunikasi yang berarti berbicara hampir melulu soal teori. Beberapa contoh praktek ilmu komunikasi memang dikutipnya, meskipun itu terkesan hanya sebagai pelengkap saja ketimbang benar-benar menjadi dasar bagi konstruksi pemikiran yang disusunnya.

Matinya ilmu komunikasi ---lebih tepatnya kekhawatiran pada matinya ilmu komunikasi--- diawali dari kecemasan penulis buku ini terhadap riset ilmu komunikasi yang banyak condong untuk kepentingan status quo. Ilmu komunikasi di Indonesia saat ini tumpul dalam membedah problem-problem yang muncul di masyarakat. Ilmu komunikasi tidak bisa memberi alternatif jalan bagi peningkatan kualitas hidup manusia yang lebih baik. Apa penyebab semua ini? Tidak lain karena sangat dominannya paradigma positivisme dalam riset ilmu komunikasi. “Lonceng kematian ilmu komunikasi”, tulis Guntur, “barangkali terbukti jika mazhab positivisme tidak segera dikubur dalam-dalam” (hal. 61).

Bagaimana paradigma positivisme bisa begitu merusak perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia? Ada beberapa sebab, di antaranya, banyak digunakannya analisa data dengan metode deduksi yang merupakan ciri positivisme. Dalam paradigma positivisme juga tegas ditolak keberadaan subjek diluar fakta. Kemudian, positivisme banyak disusun dari logika artifisial yang di dalamnya terselubung banyak kepentingan (hal 61, 78). Untuk mendukung kritiknya terhadap paradigma positivisme, Guntur menyediakan satu bab khusus dalam buku ini yang membahas sejarah positivisme ---disamping beberapa bagian dalam bab lain yang juga menyinggung positivisme.

Sebagai pengganti paradigma positivisme dalam ilmu komunikasi yang dinilai telah gagal, buku ini menawarkan teori kritis dan paradigma konstruktivisme. Kedua pendekatan ini jarang digunakan di Indonesia. Penyebabnya karena penguasa Orde Baru waktu itu tidak memberi tempat bagi perkembangan sebuah teori dan paradigma yang dapat merongrong developmentalisme yang menjadi ideologi Orde Baru. Padahal, baik teori kritis maupun paradigma konstruktivisme, dalam sejarahnya sama-sama muncul untuk melawan dominasi positivisme yang bila diruntut ada “garis menurun-menyambung” dengan developmentalisme.

Buku ini menawarkan diagnosa baru untuk perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Meskipun kita juga masih bisa berdebat, benarkah ilmu komunikasi saat ini sudah kehilangan kekritisan dan perannya? Penulis buku ini telah menjawabnya dengan “ya”. Dia tidak tinggal diam. Dia melawan dengan menawarkan alternatif yang patut dipuji dan, tentunya, harus diuji kembali.(Samsuri)

(Jakarta, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar