Selasa, 13 November 2007

Jahatnya Peradaban Masa Depan

Judul Buku:
Galaksi Simulacra: Esai-esai Jean Baudrillard
Editor:
M. Imam Aziz
Penerbit:
LKiS, Yogyakarta Juli 2001
Tebal:
viii + 198 hlm


“...Di balik masing-masing itu, ternyata Tuhan telah lenyap. Ia tidak mati, tetapi menghilang; maksudnya masalahnya tidak lagi menyajikan diri-Nya. Masalah ada atau tidak adanya Tuhan telah terselesaikan lewat simulasi.”

Kalimat di atas adalah satu gagasan radikal Jean Baudrillard yang dapat kita temui dalam buku ini; penuh nuansa mengundang tanya dan penolakan. Seperti yang diungkap redaksi melalui kata pengantarnya, Baudrillard adalah teoritisi terkemuka abad ini yang kapasitasnya dapat disejajarkan dengan pemikir Foucoult, Lacan atau Derrida. Ide-idenya lebih diperuntukkan untuk menggeledah persoalan budaya dan komunikasi massa pada masyarakat pascamodern.

Memang, aura dunia bagi Baudrillard tidak lagi sakral; yang berarti nilai agama tidak lagi ada dan dihargai. Kaum kapital (?) telah mendekonstruksi kehidupan masyarakat ke dalam fantasmagoria. Semua menjadi korban dan terbuai. Metafisika menghilang, terhapus karena berbaliknya arah obyek-subyek sejarah. Yang obyek (manusia) telah mengambil peran yang subyek (Tuhan), menyebabkan eksistensi subyek tergusur ke pinggir-pinggir peradaban. Manusia tampak telah enggan menulis sejarah dengan tinta petuah-Nya atau mencatat keagungan-Nya dalam lembar-lembar saksi peradaban. Begitulah Tuhan lenyap, tidak mati, tetapi menghilang (hlm. 190).

Bagi kebanyakan futurolog, spiritualitas manusia pascamodern adalah spiritualitas yang kehilangan spirit moral dan estetika. Kerja-kerja spiritualitual hanya rutinitas kosong. Kalaupun berguna, itu hanya dianggap sebagai satu jalan penyehatan jasad belaka. Tidak lebih. Lalu, kejahatan semakin sempurna. Ruang gerak untuk kesucian dan kebaikan menyempit. Filsafat, seni dan media tidak mampu lagi berperan bagi pencerahan. Justeru ia menjadi bagian dari kejahatan itu.

Kehidupan pascamodern, menurut Baudrillard, penuh dengan simulacrum dan simulasi. Sehingga, kebenaran adalah sesuatu yang musti ditertawakan. “Kita bisa memimpikan suatu kebudayaan dimana orang-orang akan meledak tertawanya kalau ada yang bilang: ini benar, ini nyata,” tulis Baudrillard (hlm. 97).

Dunia telah mencapai pintu dan mulai melangkah memasuki ruang multihiper: hiperealitas, hiperseksualitas, hiperpolitik, hiperekonomi, hipertontonan, dan hiper-hiper yang lain. Segala hal yang virtual, maya, halusinasi, atau fiksi dimaknai sebagai yang real. Sedangkan yang real sendiri melampau sifat alamiahnya, penuh rekayasa dan simulasi seperti kloning dan operasi bedah plastik.

Inilah kemenangan teknologi dan media massa. Saat manusia sangat tertarik bukan lagi pada hal yang nyata, tetapi semu. Teknologi memunculkan informasi dunia baru di balik monitor televisi, internet, komputer atau layar game berupa tontonan yang ekstasif, yang diangkat bukan dari realitas. Dekonstruksi budaya mengarah pada kesempurnaan hilangnya otentisitas dan orisinalitas, berbaur dalam pluralisme yang radikal, tumpang tindih, acak dan fragmentasi yang mendangkalkan makna budaya. Jejak masa lalu, kini, dan akan datang telah dirangkum dalam digit-digit, sel-sel mekanik serta bermilyar komponen mesin virtual. Manusia “pingsan” dan kehilangan sejarahnya: begitulah postmodernisme.

Baudrillard menelanjangi perusahaan Disney World sebagai salah satu “pelopor” segala khayal dan tahayul. Sebagai produser tontonan yang disebar dalam jagad virtual, dan yang nyata hanya menjadi teman bagi tema-tema virtual-maya itu. Celakanya, manusia berbondong-bondong mencari dan menikmatinya. “Disney World-Disney World” yang lain tumbuh menjamur, berkompetisi menciptakan superkhayal dan supertahayul yang lebih bombastis (hlm. 42).

Kelima belas esai Baudrillard yang ada dalam buku ini dipungut dari situs www.topcultures.com dan www.ctheory.com. Konstruksi bahasa yang radikal, meloncat-loncat, kontroversial, menyengat, intimidatif, dan imajinatif menyebabkan bagi kebanyakan pembaca buku ini akan terasa sangat berat. Sulit untuk menemukan gagasan utuh dalam satu esai. Kita seperti sedang menghadapi anyaman kata yang coba menggambarkan peradaban terkini dengan imajinasi yang mempesona, greget dan futuristik. Karena itu, tak berlebihan bila Danto ---sebagaimana yang dikutip buku ini dalam “Selamat Datang di Dunia Jean Baudrillard”--- menilai, bagi mereka yang membaca karya-karya Baudrillard akan terancam menjadi seorang hyper-reader yang menempatkan teks di bawah imajinasi.

Untuk mengikuti esai-esai dalam buku ini tentang: Disney World, utang global, milenium, Sarajevo, patafisika tahun 2000, bedah plastik, kembalinya sejarah, fotografi, ajaibnya ketololan, kehampaan di pinggiran, mogoknya peristiwa, negeri timur, dan tentang kejahatan, pembaca membutuhkan ketekunan dan kejelian dalam menapaki dan memahami kata perkata.

Seorang teman berkomentar tentang buku ini: Baudrillard terlihat emosional. Apa yang ditulisnya semata-mata disemangati penolakan dan keputusasaan pada peradaban sekarang. Ini tak lebih dari permainan kata.

Barangkali pendapat ini benar. Karena, Baudrillard sendiri tidak pernah mau disebut sebagai pemikir postmodernis. Namun, emosi Baudrillard adalah “lampu kuning” bagi mereka yang ingin belajar banyak dari realitas kehidupan yang sesungguhnya: sejarah dan peradaban. Walaupun pada akhirnya kita tak berdaya sekedar meronta atas kenyataan ini. Bumi semakin tak berjarak, membentuk satu dusun kecil tanpa batas. Manusia menggiring diri pada kejahatan.(Samsuri)

(Lampung, 2001)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar