Senin, 25 Agustus 2008

Sisi Kelam Media Massa

Mari kita mulai pembicaraan ini dari cerita ringan. Seorang rekan berceloteh, “Saya kalau tidak baca koran sehari saja, jadi pusing!” Pada saat yang sama, di rumah-rumah, ada keluarga setiap malamnya diwarnai “perang” untuk menentukan tayangan televisi yang “layak” ditonton.

Sekarang ini, masyarakat Indonesia sebagai penduduk belahan Dunia Ketiga adalah kisah tentang dahsyatnya pertarungan antara kultur-ideologi lokal dengan kompleksnya identitas manusia pascamodernisme-Barat. Di setiap ruang sejarah, berjubel nilai Dunia Pertama yang memaksa masuk dan mempermalukan kearifan lokal. Lalu, dalam catatan ini, media massa menjadi propagandis yang paling sempurna dan sopan.

Seperti dua kisah di atas, kita tanpa pernah malu-malu dan tahu, mengamini propaganda-propaganda itu sambil menanamkan keyakinan bahwa ia telah menjadi keniscayaan, bahkan kebutuhan masa depan yang tak terbantah. Memang, ada pencerahan juga kecelakaan dalam persoalan ini.

Akbar S. Ahmed (1996) saat mewanti-wanti umat (Islam) untuk berhati-hati pada postmodernisme, menyebut media massa sebagai pihak yang harus dipahami dan diwaspadai. Karena, media massa (Barat) sebagai majikannya iblis. “…media bagaikan iblis zaman ini… seperti pelukan kekasih iblis, pelukan media bisa penuh bahaya,” tulis Ahmed. Bagi Ahmed, media memang menghibur, mengajar, mendidik, namun sekaligus juga menyesatkan, tanpa henti dengan variasi yang tidak pernah berakhir.

Ada sembilan karakter media yang disodorkan Ahmed: Pertama, media tidak setia dan tidak ingat teman; (2) media memperhatikan warna kulit dan pada akhirnya rasis; (3) media adalah pengabdian diri dan sangat bersifat sumbang; (4) mass media telah menaklukkan kematian; (5) pada dasarnya media demokratis dan mewakili masyarakat umum; (6) media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar; (7) media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual; (8) media kuat karena teknologi tinggi, tetapi lemah karena antropologi kultural; dan terakhir, media memainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan meningkatkan peran ini.

Meskipun kritik berapi-api Ahmed ditulis dengan didahului hipotesa penolakan atas media Barat, namun, analisis itu tampaknya berlaku universal. Kita dapat cermati ada banyak sisi kelam media di samping semangat keterbukaan dan pendidikan, yang sama berlaku di berbagai negara, tidak terkecuali media massa kita.

Lalu, apa yang terjadi ketika sisi kelam media berselingkuh dengan grafitasi media yang luar biasa? Mungkinkah sisi kelam itu dapat disebandingkan secara adil dengan sisi pencerahan yang juga dimilikinya?

Seorang pemerhati komunikasi massa pascamodernisme, Jean Baudrillanrd (2001), mengintip masa depan manusia setelah hari-harinya dijejali informasi adalah masyarakat yang menetralisir sejarah mereka sendiri. Tidak ada arti, kesadaran, dan kehendak pada sejarahnya. Sejarah kemudian dihitung mundur. Manusia menunggu kemusnahannya dalam keadaan “pingsan”: hidup tetapi tak berguna bagi dirinya sendiri. Bukan masa depan yang dinanti. Tetapi, suatu titik akhir mulai dituju, saat tahun 2000 berganti.

Seperti polusi mesin yang membuat takut; gunung es di Kutup Selatan dan Utara bumi mencair, manusia menunggu bumi tenggelam. Pada keadaan yang lain, kemudahan informasi telah memanjakan manusia, serba instan. Sejarah dilalui dari kotak-kotak bernama rumah. Inilah yang disebut Baudrillanrd sebagai menghintung mundur, tidak ada arti, kesadaran, dan kehendak pada sejarah.

Jika benar Baudrillanrd, tahun ini adalah tahun ketiga manusia mulai menghitung alienasinya lewat komunikasi media yang instan dan semakin canggih diciptakan. “Media pada akhirnya akan mengasingkan orang dari pengalaman personalnya,” kata Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (1994), “isolasi moral, menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi.”

Dalam analisis dua ahli komunikasi ini, bila identitas media itu bermesraan dengan kapitalisme, maka media telah mengarahkan publik pembaca dalam “penyeragaman selera.” Selanjutnya, kultur-ideologi lokal mengalami degradasi yang hebat, sedangkan pasar berhasil menciptakan manusia konsumeris yang tidak punya banyak pilihan hidup. Apa yang ia makan dan pakai adalah apa yang disuguhkan media. Iklan telah merenggut integritas dan otonomi manusia dengan cara yang sangat halus.

Sampai di sini, kita telah mendeteksi dua “peluru” yang akan membunuh manusia masa depan akibat media; kultur-ideologi alienatif dan produk-produk instan. Judul dari muntahnya dua peluru itu adalah sama: yang kuat, memiliki modal dan media akan menjadi tuan, tuan yang sopan tetapi membunuh.

Begitu kuatnya desakan yang dibawa media dalam bingkai modernisme dan kapitalisme, melahirkan perlawanan-perlawanan yang begitu menyeramkan. Sebagian dari mereka yang merasa terjajah berusaha keras untuk mempertahankan kearifan lokal sebagai satu-satunya kekayaan dan pilihan yang menjanjikan. Perlawanan itu ada yang melalui “berdiam”, atau dengan “budaya tanding” dengan menerbitkan media yang menolak keras mainstraim media yang ada dan dinilai salah. Penolakan juga dilakukan dengan sikap defensive cultur yang keras melalui pengasingan dari hiruk-pikuk informasi. Bagi mereka yang “berani”, perlawanan dilakukan dengan menyerang sendi-sendi kehidupan terpenting musuh yang dianggap telah menguasai media. Beragam sekte dan kultus bermunculan, gerakan fundamentalisme dan terorisme berhamburan.

Bagaimanapun juga, tiga antidot modernisme (Che Guevara, Mishima Yukio, dan Usama bin Laden) yang disebut Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir-nya, adalah juga akibat keberhasilan modernisme dan kapitalisme mendekap media massa. Yaitu, media yang dalam pengamatan Ahmed telah menjadi sangat berpihak dan mempertimbangkan “warna ras” modernisme, yang sudah diamini sebagai dirinya dan karena itu harus dibela ---meskipun akhirnya berita yang lahir adalah sumbang.

Media telah menjadi corong modernisme yang paling setai. Sungguh, inilah yang sedang kita alami. Televisi, internet, dan beratus media cetak bersekongkol memboyong modernisme ---juga kapitalisme--- selanjutnya postmodernisme. Pun demokrasi yang diusung media adalah demokrasi yang telah menjadi ideologi sepihak media. Kemudian, kita pelan-pelan sedang berproses menjadi manusia yang “kehilangan” sejarahnya, karena hari-hari telah direnggut informasi yang berjejal memaksa masuk.

“Tak berdaya melawan,” begitulah yang terjadi. Seperti ketika kita menyaksikan mulai tenggelamnya kota-kota. Namun, kendaraan pemroduk polusi tetap saja kita naiki: paradok. Begitu kuatnya media massa menarik perhatian kita, sampai-sampai meskipun kita yakin itu bagian dari sebuah kecelakaan tetapi tetap dipelihara.

Hanya sedikit yang mampu mendesain dan menikmati media massa sebagai satu “rubrik pendukung jalan pencerahan” dan menggunakannya murni sebagai: pendukung demokrasi tanpa bias ras dan kepentingan sepihak, tanpa bias kapitalisme, mempermainkan fakta, atau bersikap lurus terhadap suara moral dan spiritualitas.

Pendidikan memang telah menjadi bagian penting media. Hanya saja, kita tetap bertanya; seberapa besar keuntungan dari “pendidikan media” jika hasil pendidikanya itu berakibat depersonalisasi dan dehumanisasi.

Hanya sedikit. Sehingga, yang sedikit itu tidak mampu mewarnai. Mengikuti arus menuju sejarah tanpa ada arti, kesadaran, dan kehendak. Dan ternyata, sebagian dari yang sedikit itu pun telah memilih jalan “keberanian”, melalui perlawanan: politik kekerasan, terorisme. Meskipun itu tak dibenarkan.(Samsuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar