Judul Buku:
Permata Rumah Kita
(Catatan Perjalanan Seorang Ibu)
Penulis:
Miranda Risang Ayu
Penerbit:
Mizan, Cet I, 2002
Tebal:
258 hlm
“Begitu menakutkan peradaban dunia mendatang.” Begitulah yang selalu bisa penulis simpulkan ketika selesai menyimak film-film fiksi ilmiah. Jasad-jasad yang kehilangan spiritualitas (ruh), bergerak mengikuti logika mesin. Begitukah manusia akan menghabiskan nafasnya?
Rasanya tidak sulit untuk menjawab. Meskipun yang paling berhak menjawab adalah anak atau cucu kita nanti. Namun, sekarang, sesungguhnya kita telah menjadi bagian dari proses pembenaran film-film fiksi itu. Logika mesin mulai merasuki sendi-sendi darah kita, mengalir lambat tapi pasti. Kita seperti sangat kesulitan untuk menemukan tempat dimana jasad bisa terus belajar tentang spiritualitas dan tidak diperbudak kepuasan maya. Di ruang-ruang kelas begitu banyak kamuflase. Di “rumah tuhan?” Diantara kita ternyata banyak yang justeru menjadikan spirit spiritualisme sebagai modal eksklusifisme, terhanyut dalam pembenaran diri sendiri dan alienasi ---meskipun banyak juga yang berhasil menemukan. “Di rumah kita” jawab Miranda Risang Ayu dalam bukunya ini.
Ya, di rumah kita harta karun spiritualitas itu bisa ditemukan. Miranda telah membuktikannya dan membagikan pengalaman itu kepada siapa saja yang “haus” melalui buku ini.
Rumah kita adalah manifestasi alam semesta. Tempat bayi lahir, berkembang, dan menyisakan runtutan petualangan kehidupan yang sempurnah dan penuh hikmah. Bagi Miranda, anak “adalah manusia utuh yang menyisakan sisi tersembunyi tempat Allah menyapa diri. Dia tidak bisa begitu saja direngkuh dan dilipat-lipat seperti surat, tetapi berdiri di hadapan kita untuk dipandang dengan hormat,” (hlm 32).
Ini pulalah yang menjadikan Miranda sampai mempertanyakan, apakah bisa seorang anak disebut nakal. Padahal, mereka adalah sahabat, guru spiritual. Begitu banyak kearifan hidup diperoleh dengan memahami anak dalam kesempurnaannya. Kita bisa “mencuri” spiritualitas dari mereka.
Perjalanan dimulai dari jihad untuk melahirkan si kecil itu, mengisi “memorinya”, memahami keingintahuannya, atau menghargai kepolosannya. Semua perjalanan dan pengetahuan si kecil, menjadi guru yang terus hadir tanpa kita bersusah mencari. Dan, kita pun akhirnya tahu, hampir keseluruhan timbunan spiritualitas itu berada di dalam dan dapat digali dari rumah.
Buku “Permata Rumah Kita: Catatan Perjalanan Seorang ibu” ini, hendak menunjukkan dengan sangat jelas: “Rumah tempat anak-anak kita dibesarkan adalah tempat bersemayamnya makna kehidupan yang sesungguhnya, dalam kesusahan atau kegembiraan. Rumah menjadi tempat “bermukimnya” spiritualitas dari berbagai sumber.
Sebagian dari manusia hampir atau bahkan telah melupakan hal ini. Rumah hanya menjadi tempat singgah untuk mengabsahkan perjalanan “logika mesin”: tidur, makan, menonton televisi, pergi dan pulang kembali. Dilain kasus, rumah sekedar penyempurna, pelegitimasi, atau gengsi status sosial. Materinya ditumpuk seindah, setinggi dan selengkap mungkin, tetapi semua kehilangan makna. Tak lebih sebagai materi yang membuat jauh dari makna kehidupan. Sementara anak banyak dipahami hanya sebagai “pelengkap rumah” atau “penerus penjaga rumah” yang karenanya anakpun diperlakukan sama dengan benda-benda: dirawat, dibesarkan, dicukupi kebutuhannya tetapi menghilangkan arti keberadaannya sebagai rahmat.
Spiritualitas yang berarti permata itu, ditemukan dalam kesederhanaan dan situasi yang kadang tidaklah serius. “Saat si gadis kecil kita menatap hujan, si bocah lelaki menekuri daun,” kata Miranda, “mereka sedang bermajelis dengan semesta, walaupun mereka tidak sadar itu.” “Bermajelis dengan semesta berarti menemukan ilham kreatif ilahiah yang banyak hilang dari kesadaran orang-orang dewasa. Karena itu, lanjut Miranda, jangan anggap sambil lalu atau sekedar hiburan lucu tingkah anak-anak ketika berhadapan dengan alam,” (hlm. 40-41).
Pengalaman relegius sebagai satu fase untuk mencapai tingkat spiritualitas yang sempurna, ternyata tidak sulit untuk ditemukan. Rumah menjadi medium yang paling nyata dan luar biasa bagi pengalaman religius itu. Rumah benar-benar menjadi tempat bermukimnya spiritualitas disamping al-Furqon dan tumpukan kitab-kitab di rak buku. Untuk menemukan ini semua, kita hanya perlu sedikit berfikir utuh, bijak, dan mendalam.
Buku ini dibagi dalam tiga bagian: (1) Mengasah Intan: Mendidik Anak, Memenuhi Amanah Allah, (2) Menebar Kasih: Mencermati Dinamika Masyarakat, dan (3) Membumbung ke Langit: Mendekat kepada Allah. Sebagian dari 54 tulisan (kolom) di dalamnya pernah dimuat di berbagai media massa. Walau demikian, kita tetap akan bisa menemukan karakter yang sama dari semua tulisan dalam buku ini: pengalaman spiritual seorang ibu yang dituang dalam kata-kata memesona, runtut, filosofis, dan penuh renungan.(Samsuri)
(Jakarta, 2003)
Selasa, 23 Desember 2008
Rumah dan Anak Sumber Spiritualitas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar