Jumat, 13 Februari 2009

Pertarungan Fundamentalisme atau Terorisme?

Menggunakan diskursus fundamentalisme untuk mengurai berbagai gerakan sosial, agama, maupun politik dunia akhir-akhir ini, tampaknya tetap dibutuhkan kehati-hatian. Perdebatan tentang apa, mengapa, siapa, dan bagaimana fundamentalisme itu, masih terlihat bernuansa emosional. Ada banyak kepentingan terlibat dalam perdebatan ini, dan sangat berpotensi kita tanpa sadar membenarkan satu pihak tanpa mencoba memahami pihak lain.

Sumber: www.buzzflash.com

Ketika disebut kata fundamentalisme, banyak orang langsung menyimpulkan: ini adalah kelompok dalam agama yang serba eksklusif dalam berfikir dan menggunakan kekerasan dalam bertindak. Benarkah demikian? Tulisan ini ingin coba nimbrung dalam diskursus fundamentalisme kontemporer dengan menjadikan isu perang terhadap terorisme sebagai garapan. Tetapi, tidak mustahil kehati-hati yang dilakukan penulis tetap saja menjadi pilihan dilematis.


Tragedi Afghanistan dan Osama bin Laden vis a vis Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di awal abad 21 ini, telah memunculkan kembali sebutan-sebutan fundamentalisme dalam berbagai gerakan agama dunia. Setidaknya, tampak ada upaya untuk mendekatkan ---atau bahkan menyamakan--- fundamentalisme dengan terorisme. Profil rezim Taliban yang ter(di)gambarkan sebagai kelompok Islam yang sangat eksklusif, antidemokrasi, de-modernisme, dan menyimpan potensi menebar kekacauan, mau tak mau kembali mengingatkan dunia akan bahaya fundamentalisme agama, apapun agama itu.

Relatif: dalam dunia akademis, fundamentalisme agama memang dilekatkan pada faham dan gerakan yang tidak mendukung pembaruan. Rifyal Ka’bah melihat, sejarah kaum Kristen Protestan yang melawan kebangkitan ilmu pengetahuan sekuler dengan memunculkan 12 risalah berjudul The Fundamentals: A Testimony of the Truth pada tahun 1909, menjadi awal menyebarnya istilah fundamentalisme secara luas. Selain melawan ilmu pengetahuan sekuler yang terus berkembang saat itu, kelompok Kristen ini juga membangun sikap militan, eksklusif, dan menolak penafsiran baru atas Bible yang banyak dilakukan oleh kelompok modernis Kristen.

Dalam konteks Islam, Fazlur Rahman (2001) menilai, fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh Barat, sekularisme, dan modernisme Islam. Mereka menuduh kaum modernis klasik telah menyerah pada Barat dan menjual Islam dengan harga murah. Prototypenya dapat dilihat pada sebagian gagasan Wahabiyah yang dikenal rigit dalam menafsirkan al-Qur’an dan bersikap keras pada pemikiran yang berlawanan.

Untuk mereka yang menolak sebutan fundamentalisme bagi gerakan Islam, seperti Riffat Hasan, Muhammad Imarah, dan Yusuf Qordhawy, media Barat dituduh sebagai pihak yang paling harus bertanggungjawab. Pemberitaan yang sangat bias dan selalu berkonotasi negatif, disandangkan oleh para jurnalis Barat pada berbagai gerakan Islam di Timur Tengah yang nyata-nyata berbeda dengan gerakan fundamentalisme Kristen di Barat. “Penamaan istilah ini lebih sebagai upaya pendiskriditan tokoh-tokoh muslim, baik di Timur maupun di Barat, sekaligus membuktikan tingkat imperialisme budaya Barat ke wilayah Dunia Ketiga,” kata Riffat Hasan. Sedangkan Muhammad Imarah berpendapat, dalam warisan keilmuan maupun pemikiran Islam tidak dikenal istilah fundamentalisme (ushuliyah) dengan pengertian yang dikenalkan Barat. Kalaupun digunakan untuk menyebut, pengertian yang muncul justeru baik, yaitu mereka yang berpegang pada dasar-dasar Islam (ushul).

Perdebatan ini terus berlanjut. Tetapi, kecenderungan telah melebarkan makna dan wilayah fundamentalisme tidak hanya melulu agama. Bisa sosial, politik, budaya, atau ekonomi. Ernest Gellner bahkan menggunakan istilah “fundamentalisme rasional” untuk menawarkan penolakannya terhadap teori postmodernisme.

Apa yang terjadi kemudian sebenarnya, kelompok manapun bisa menyandang status fundamentalis ketika paradigma berfikir dan prilakunya memungkinkan untuk dapat disejajarkan dengan kaum fundamentalis agama. Seorang politikus, budayawan, atau ekonom dapat menjadi fundamentalis politik, fundamentalis budaya, atau fundamentalis ekonomi. Lalu, apa sebenarnya fundamentalisme itu?

Untuk pertanyaan ini, kita bisa merujuk Bassam Tibbi (2000) yang mengamati bahwa the clash of civilization yang didengungkan itu sesungguhnya berakar pada klaim dua universalisme-absolud, yaitu universalisme Islam dan universalisme sekuler Barat. Siapa pengklaim universalisme Islam bagi Bassam Tibbi cukup jelas: kelompok fundamentalis Islam. Sedangkan siapa pengklaim universalisme sekuler Barat, Bassam Tibbi agak “malu-malu’ untuk menguraikan. Tetapi, toh kita bisa tebak, tidak lain adalah kelompok fundamentalis Barat (terkhusus AS).

Dengan demikian, keadilan atas penggunaan istilah fundamentalisme cukup jelas. Kelompok dan siapa saja bisa menyandang julukan fundamentalis apabila identifikasi sebagai penganut universalisme-absolud dimilikinya, yaitu dengan pengertian berfikir absolud-eksklusif dan bergerak radikal serta menyerang untuk memaksakan keyakinan kebenaran universal yang dianutnya.

Pengertian ini membenarkan pendapat Garaudy sebagaimana yang dikutip Hadimulyo dalam Ulumul Qur’an No.3 th 1993: “Beberapa penyebab munculnya gerakan fundamentalisme di negara-negara Dunia Ketiga adalah reaksi atau jawaban terhadap gejala fundamentalisme Barat, yang ingin memaksakan pandangan dunia mereka kepada bangsa-bangsa di wilayah jajahannya. Karena arogansinya…”.

Kita telah temukan, ternyata, setidaknya ada dua fundamentalisme yang eksis saat ini yang kedunya saling berebut mempengaruhi tatanan dunia mendatang. Tetapi ada yang berbeda. Fundamentalisme Barat lahir dari rahim modernisme yang membuahkan sikap-sikap superioritas dan pengabsolutan sekulerisme-kapitalisme. Sedangkan fundamentalisme agama yang coba diwakili kelompok–kelompok Islam, lahir dari inferioritas, rasa ketertindasan, ketidakadilan, dan kekerasan yang dilakukan fundamentalisme Barat. Mereka mengabsolutkan mizan islami ---dalam pengertian tertentu--- sebagai satu-satunya solusi untuk mengakhiri “imperealisme” sekuler Barat.

Dialektika kekerasan sedang berjalan. Kita menemukan, sikap fundamentalisme sekuler Barat (AS dan beberapa sekutu Eropa-nya) dibalas juga oleh fundamentalisme agama (bahkan tidak hanya kelompok Islam saja, tetapi juga negara-negara Dunia Ketiga).
Drama inilah yang disebut Dom Helder Camara (2000) sebagai “spiral kekerasan”: relasi Dunia Pertama (Barat) dengan Dunia Ketika (banyak di Asia dan Afrika) telah menghadirkan ketidakadilan dan “kekerasan no.1” di Dunia Ketiga. Selanjutnya, ketidakadilan dan “kekerasan no.1” yang telah dimapankan itu, memunculkan “kekerasan no. 2” dari Dunia Ketiga yang berbentuk pemberontakan. Kaum muda dan kaum tertindas di Dunia Ketiga, terus menuntut keadilan dan kemanusiaan dalam tatanan dunia. (Persis seperti yang dikemukakan Jalaluddin Rakhmad mengutip penelitian Saad Eddin Ibrahim, bahwa profil kaum fundamentalis diantaranya adalah muda, berprestasi, dan berpendidikan sains). Apa yang terjadi kemudian: kekerasan no. 2 akan dibalas oleh Dunia Pertama dengan kekerasan no.3 melalui tindakan represif. AS dengan kampanye antiterorismenya yang menggunakan perang sebagai jalan kemenangan telah mencapai kekerasan no. 3, tindakan represif. Bagaimana kita harus memotong dialektika kekerasan ini!?

***

Sampai di sini, benarkah bisa disamakan antara fundamentalisme dengan terorisme? Bassam Tibbi dengan tegas melakukan distingsi atas dua hal ini. Katanya, “fundamentalisme adalah sebuah defensive-cultural… sementara terorisme benar-benar menggambarkan pola tindakan politik kekerasan”. Walaupun demikian, kita masih tetap bisa tarik garis: meski fundamentalisme bukan terorisme, kedunya sangat dekat, bahkan fenomena dunia saat ini dapat saja mensyahkan kita untuk menyamakannya. Yang timbul di permukaan, dalam melakukan upaya defensive-cultural, berbagai kelompok fundamentalis (berarti tidak semua kelompok fundamentalis) telah melakukan politik kekerasan. Fundamentalisme sekuler Barat atau fundamentalisme Islam, sama saja.

Skenario perang terhadap terorisme yang digalang AS dapat terbaca sebagai pertarungan dua sosok yang punya watak sama, fundamentalis dan kemudian teroris. Saling klaim, (men)takut(i), dan membunuh.

Masih cukup hangat diingatan, bagaimana AS dengan heroiknya mengeluarkan teknologi perang mutakhir untuk membombardir rezim Taliban. Dan saat ini, perburuan Osama bin Laden yang dituduh sebagai teroris ke gunung-gunung meski beresiko tinggi, tetap menjadi target kemenangan berikutnya bagi AS dan sekutunya di Afghanistan.

Seperti diungkap berbagai media, tragedi 11 September yang menghancurkan gedung WTC dan meruntuhkan sebagian bangunan markas militer di Pentagon, adalah seperti peluit yang mengisyaratkan dimulainya Perang Dunia III. Walau banyak yang meragukan analisis ini, tetapi, siapa yang dapat menjamin peluit itu tidak menjadi isyarat, ketika AS mulai mengeluarkan jurus tuduhan “poros setan” (axis of evil) pada tiga negara. “Kami akan memenangkan perang, dan kami akan mengalahkan resesi ini,” kata Presiden AS George W. Bush saat menyampaikan pidato tahunan di hadapan Kongres AS Februari lalu. Irak, Iran, dan Korea Utara akan menjadi “Afganistan” berikutnya!

Sekarang, AS sedang gencar mencari dukungan untuk menjadikan Irak sebagai target perang melawan terorisme selanjutnya. Menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein telah menjadi obsesi AS sepanjang beberapa dekade. Karena itu, banyak yang melihat kampanye anti Irak yang gencar disorong AS lebih sebagai gambaran ketakutan atau kejengkelan AS pada Irak selama ini. Alasan terorisme banyak dilihat hanyalah isu untuk memperlicin obsesi penghancuran Irak. Bukankah Irak adalah negara yang menggambil garis pemisah tegas dan paling menentang AS?

Ketakutan? Besar kemungkinan “ya”. Ini dibuktikan dengan diajukannya anggaran oleh pemerintah George W. Bush tidak kurang dari US$ 379 milyar (+ Rp.3.790 trilyun) ---hingga anggaran diperkirakan mengalami devisit US$ 350 milyar--- untuk mendanai perang tak terbatas terhadap terorisme. Pada saat yang sama, diduga, sebagian dana ini akan digunakan untuk melanjutkan operasi sebuah “bangker raksasa” dengan peralatan dan tempat tinggal canggih. Bangker ini merupakan tempat dilangsungkannya pengelolaan “pemerintahan bawah tanah” (pemerintahan bayangan) sebagai antisipasi bila teroris menyerang AS secara besar-besaran, (Tempo,17 Maret 2002).

Ketakutan itu juga terlihat saat AS bereaksi ketika beberapa negara Eropa menolak untuk memberikan dukungan rencana penyerangan ke Irak. “Saya sungguh kecewa… Ketika keamanan AS terancam mereka sama sekali tidak peduli,” kata Penasehat pertahanan presiden AS, Richard Perle, (Kompas, 12,2,2002).

Irak teroris? Dengan banyaknya negara yang menolak mendukung serangan AS ke Irak, dunia belum sampai menyimpulkan Irak adalah teroris. Bahkan Inggris yang paling bersemangat mendukung AS, harus terpecah menanggapi rencana penyerangan itu. Ternyata, tidak cukup alasan bagi dunia untuk menghalalkan perang atas Irak dengan bukti yang belum cukup jelas, hanya tuduhan bahwa Irak memproduksi senjata pemusnah massal.

Penulis ingin menyatakan, dengan memperluas areal perang ke Irak, AS akan menghadapi tidak hanya kaum fundamentalis yang telah menjadi teroris, tetapi juga berbagai kelompok sosial, agama, maupun politik yang moderat, yang tidak mendukung kekerasan sebagai jalan penyelesaian.

***


Fundamentalisme atau terorisme? Penyerang 11 September tahun lalu telah melampau keduanya. Terbayang, penyerang itu telah melewati masa defensive-cultural-nya dan menjelma menjadi penganut politik kekerasan (teroris). Universalisme-absolud yang dilancarkan AS (melalui isu demokrasi dan perdagangan bebas), bagi mereka, tidak cukup dilawan dengan sikap defensive, tetapi menyerang. Ini jugalah yang dialami AS. Lawan telah menyerang, tidak cukup defensive dengan sedikit gerakan. Perburuan harus dilakukan besar-besaran sampai ke lorong-lorong dunia. Semua kelompok fundamentalis yang telah terdata oleh AS, wajib dicurigai sebagai teroris. Setidaknya mereka harus dimata-matai polah tingkahnya, apakah benar telah menjadi teroris.

Kelompok fundamentalis Islam yang diakui paling kuat dari gerakan fundamentalisme yang ada di agama-agama, mendapat porsi pengawasan yang superketat. Bahkan bisa jadi merupakan target pertama dan utama bagi AS. Atas perlakuan ini, ketegangan yang relatif selama ini terpendam semakin muncul ke permukaan. Berbagai gerakan yang oleh kategori akademis dikotakkan dalam kelompok fundamentalis (militan) mengecam keras dirinya disamakan dengan teroris. Mereka balik menuduh; AS itulah teroris, teroris yang teriak teroris! Protes yang ditandai dengan pembakaran bendera AS terjadi di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.

Apa yang dapat masyarakat dunia lakukan melihat babak baru kehancuran peradaban dunia? Entah, rasanya jauh-jauh hari tidak hanya sosok humanis Gandhi yang gigih menentang kekerasan. Berbagai organisasi sosial juga terus menggalang dana, berjuang untuk keadilan dan kedamaian dunia. Nyatanya, saat ini, seolah dunia sedang berkemas-kemas untuk berperang. Tetapi, sungguh ini bukan berarti sebuah kegagalan!

Tawaran yang dilontarkan Bassam Tibbi untuk terus melakukan dialog antardasar-dasar budaya guna mewujudkan moralitas internasional, masih bisa kita responi sebagai hal yang menjanjikan. Kata Bassam Tibbi, dasar-dasar budaya adalah pembentuk peradaban, sedangkan fundamentalisme adalah pandangan dunia yang dipolitisasi dari peradaban-peradaban yang bersaing. Berarti, bila dasar-dasar budaya pembentuk peradaban yang bersaing itu terus dicarikan jalan persepakatan, tak mustahil, dalam skala global hak keadilan dan kedamaian manusia dapat terpenuhi. Perang dan kekerasan bisa terminimalisasi.

Dialog antariman mengambil posisi yang sama. “Otoritas” yang dimiliki tokoh-tokoh besar agama dunia, memungkinkan kampanye “dunia berkeadilan dan tanpa perang“ dapat lebih meluas. Semangat spiritualitas perennial atau mistisisme yang dimiliki semua agama adalah pintu yang bisa dimasuki untuk menggulirkan terus-menerus “wajah agama” yang inklusif dan ramah. Mengutip Ruslani, “Semua agama adalah satu dan sama karena berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan dengan pesan yang satu dan sama pula, yaitu realisasi kebenaran, keadilan, dan kesatuan umat manusia,” (Kompas, 8,3,2002).

Masyarakat dunia yang cinta perdamaian dapat terus menyokong kampanye “dunia berkeadilan dan tanpa perang” yang dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial yang telah menyebar. Kita tidak banyak bisa berhadap pada rezim-rezim dunia untuk menyokong kampanye ini. Terlalu banyak kepentingan politik dan ekonomi yang mereka sandang, dan terkadang tak dapat dimengerti oleh logika keadilan dan perdamaian apalagi kemanusiaan.

Akhirnya, andaikan benar (dan ini memang benar) kaum muda punya peran penting dalam pertarungan antarfundamentalisme atau terorisme dunia saat ini, kaum muda sudilah menyimak “petuah” pejuang kemanusian seperti Helder Cammar. Ia menulis: “Saya terus berfikir, seperti di Manchester, Inggris, bahwa kaum muda tidak lagi membiarkan tujuh dosa besar dunia modern: Rasialisme, Kolonialisme, Perang, Paternalisme, Pharisiisme, Alienasi dan Ketakutan… Datanglah dan bantulah bersama membangun satu dunia yang di dalamnya semua orang saling mengenal dan mencintai sebagai saudara!”. Semoga.(Samsuri)

Lampung, 2002
(tulisan ini sebagian disarikan dari skripsi penulis
tentang “Fundamentalisme dan Modernisme Islam di Indonesia”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar