Jumat, 20 Maret 2009

Rekonsiliasi Melalui Pendidikan Multikultural

Judul Buku:
Pendidikan Memang Multikultural
(Beberapa Gagasan)
Penulis:
Donny Gahral Adian, dkk
Editor:
Aryo Danusiri & Wasmi Alhaziri
Penerbit:
Yayasan SET, September 2002
Tebal:
Ix + 221 hlm


Bagi bangsa Indonesia, apa yang terjadi dalam kurun enam tahun terakhir menjadi sejarah menyedihkan namun juga sayang untuk dilupakan. Sejak revolusi 1998, seperti tak henti-hentinya persoalan menyembur dari perut Republik ini. Tapi, layaknya semburan lava gunung merapi, pada akhirnya bara itupun menjadi pupuk, menghidupi dengan subur. Itulah yang diharapkan.

Hampir semua orang beranggapan, enam tahun bukanlah waktu yang pendek untuk keluar dari masa dimana konflik, rusuh, dan ketakutan menjadi realita yang dibenarkan serta diabsahkan. “Kita memang sedang dalam masa transisi. Dan, selalu transisi mengandaikan gonjang-ganjing dalam berbagai dimensi.”

Benarkah masa “pubertas” itu telah terlampau? Setidaknya kita bisa menjawab dengan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dari daerah-daerah konflik: Aceh, Poso, Maluku, atau Papua.

Sampai hari ini, Perjanjian Malino I dan II terbukti ampuh meredam rusuh Poso. Sentimen etnis dalam kerusuhan ini telah mendingin. Begitu juga dengan konflik di Maluku, sudah menunjukkan perdamaiannya. Konflik yang dipicu oleh perkelahian antara seorang sopir angkot dengan pemuda di kawasan Batu Merah, 19 Desember 1999 itu telah memicu perang SARA dalam kurun empat tahun. Kabar terkini adalah disepakatinya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia di Jenewa, Swis. Selanjutnya, rekonsiliasi pasca konflik menjadi agenda berikutnya untuk memulihkan dan membangun kembali infrastruktur dan kultur, khususnya di masing-masing daerah konflik.

Dalam konteks itulah kehadiran buku ini menemukan momentumnya untuk turut menyumbang percepatan pemulihan. Buku yang bersisi 11 tulisan dari para cendekiawan ini membahas dengan teliti wacana multikulturalisme, dan secara lebih spesifik menyandingkannya dengan dunia pendidikan. Penerbitan buku bertema multikulturalisme oleh Yayasan SET (Sain Estetika dan Teknologi) ini, merupakan satu program yayasan tersebut untuk mendorong terbentuknya masyarakat multikultarisme yang menghargai perbedaan kultur dan mengelolanya menjadi nilai kesejajaran, keadilan, dan kedamaian.

Berbeda sedikit dengan wacana pluralisme (kajian lebih bersifat privat), wacana multikultural menempatkan perbedaan entitas komunal sebagai lahan garapan. Karenanya, Donny Gahral Adian dalam tulisannya yang berjudul “Multikulturalisme, Politik dan Solidaritas”, melihat multikulturalisme sebagai ajakan untuk meninjau konsep budaya yang kita terima selama ini. Mewacanakan multikulturalisme berarti mengharapkan bagaimana sebuah kebudayaan dapat menghargai dan menjamin hak, tidak hanya individu tetapi kolektif, (hlm. 11).

Sulit dihindari pembedaan “kita” dan “mereka”, “minoritas” dan “mayoritas” dalam kebudayaan. Dikotomi tersebut dalam realitasnya juga lebih dapat diartikan destruktif. Karena itu, sekarang tinggal bagaimana mengelola dan mengarahkan perbedaan sebagai bahan pokok untuk menemukan dan merumuskan nilai yang universal, sebagai satu keputusan dan kebutuhan yang dirasa sama, dengan tetap menjamin hak kolektif dan memelihara kekayaan nilai masing-masing budaya.

Wacana pendidikan multukultural di Indonesia menurut Darmaningtyas dan J. Sumadianta sangat mungkin dilatarbelakangi terjadinya konflik antarkultur dan kenyataan carut-marutnya pendidikan. Tetapi, hadirnya terminologi “pendidikan multikultur” menurut kedua pakar pendidikan ini adalah hal aneh. Sebab, pendidikan itu sendiri pada hakekatnya adalah multukultural. Pendidikan secara konseptual memang (seharusnya) multukultural, tempat dimana cinta-kasih, kemanusiaan, toleransi, persaudaraan dapat disenandungkan terus-menerus. Persoalan yang muncul selama ini sesungguhnya lebih pada para pelaku pendidikan (formal), (hal. 137).

Jika memang demikian persoalannya, berbagai konflik di Indonesia belakangan ini sebenarnya sudah cukup untuk memberi pengalaman empiris bagi para pelaku pendidikan. Mereka berkompeten dan harus paling responsif untuk melakukan tinjauan budaya sebagai acuan konseptual dan empiris guna memperbaiki prilaku pendidikan. Dengan melakukan itu, mereka berarti telah melampaui langkah awal bagi pendidikan multikultural.

Semua pada akhirnya toh punya peran dalam proses pendidikan multikultural ini. Apalagi ketika pendidikan formal terbukti masih mengidap 1001 penyakit: kurikulum awut-awutan, gaji guru rendah, penjaringan guru/murid yang tidak fair, dana diselewengkan, sementara gaya mengajar model bank, otoritaristik, individualistik, kapitalistik, oportunistik masih dipelihara.

Pendidikan multikultural hendaknya tidak kita batasi dalam ruangan berukuran 6x7 meter yang acap disebut “kelas”. Itu terlalu sempit untuk bisa menampung lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang membutuhkan penyadaran dan penyegaran terus-menerus tetang bagaimana hidup damai di negeri yang multikultur. Tentang bagaimana menghargai hak individu dan kolektif. Agar konflik tidak lagi mendapat pembenaran serta pengabsahan.(Samsuri)

Jakarta, Maret 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar