Jumat, 31 Juli 2009

Tak Ada 'Mimpi' Menuju Somasi 'Republik'

Wimar Witoelar punya pertanyaan bagus untuk Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan A. Djalil. Pertanyaan yang muncul di acara Wimar's World yang disiarkan stasiun televisi JakTV itu kurang lebih begini: "Jika Republik Mimpi dianggap buruk, apakah menyomasinya juga sesuatu yang baik bagi demokrasi kita?"

Saya kurang ingat apa jawaban Menteri Sofyan terhadap pertanyaan itu. Tapi dalam dialog, yang juga dihadiri Butet Kartaredjasa itu, Sofyan berkali-kali menegaskan, terbersiknya pikiran untuk menyomasi tayangan Republik Mimpi muncul sebagai respon atas pesan yang banyak masuk di telepon selulernya. Tayangan itu dianggap mengolok-olok pejabat negara, sehingga patut dipertanyakan apakah sisi baiknya lebih besar dari negatifnya.

Somasi belum jadi dikeluarkan (tapi jangan berharap jadi). Yang masih tersisa, Sofyan mengajak masyarakat - ditegaskannya sebagai pribadi - untuk memperdebatkan Republik Mimpi.

Dalam konteks itu saya di pihak mereka yang melihat sisi baiknya lebih besar. Republik Mimpi yang ditayangkan stasiun Metro TV (berubah menjadi Kerajaan Mimpi sejak 4 Maret lalu, setelah ada rencana somasi) hadir sebagai tayangan yang informatif, kritis, sekaligus menghibur. Tidak mudah mengkreasi tayangan seperti itu di tengah "kegilaan" pengelola televisi Indonesia terhadap acara berating tinggi yang celakanya didominasi acara bermutu rendah.

Jangan merendahkan dan khawatir soal kesiapan masyarakat kita untuk menerimanya. Setiap tayangan telah membentuk dan punya segmen penontonnya sendiri. Segmen penonton Republik Mimpi (dan juga Metro TV) lebih banyak berasal dari kelas menengah ke atas. Berarti, kalau pun benar-benar ada, tidak banyak penonton Republik Mimpi yang melihat tayangan itu sebagai sebuah sarana "mengolok-olok" pejabat negara. Ia lebih sebagai tayangan informatif, kritis, sekaligus menghibur.

Saya coba memetakan Republik Mimpi seperti ini: Pertama, untuk Butet Kartaredjasa (pemeran Si Butet Yogya-SBY), Handoyo (pemeran Gus Pur), Sukarti (pemeran Megakarti) dan pemeran-pemeran lainnya, Republik Mimpi adalah panggung yang menyempurnakan diri mereka sebagai aktor pemeran. Mereka berekspresi. Tantangannya adalah bagaimana sebaik mungkin memerankan diri sebagai aktor tokoh yang telah dipilih untuk mereka.

Kedua, untuk Effendy Gazali sebagai penggagas, Republik Mimpi adalah bagian dari cara kita mengelola kekayaan demokrasi bernama kebebasan dan perbedaan. Informasi, kritik dan hiburan yang dibungkus dalam bentuk parodi-satire-politik dalam Republik Mimpi hanya salah satu bumbu yang memperkaya demokrasi kita. Karenanya tayangan sejenis tak lagi asing di negara-negara demokratis. Lagi pula terlalu jauh jika Republik Mimpi dianggap dapat mendelegitimasi (jabatan) presiden dan wakil presiden.

Mengelola demokrasi membutuhkan masyarakat yang kritis dan respek terhadap berbagai informasi, juga terhadap bentuk kritik dan hiburan. Mengelola demokrasi segaligus membutuhkan pemimpin berjiwa besar yang terkadang bisa menertawakan diri sendiri. Tayangan Republik Mimpi adalah bagian dari kebebasan. Mekipun demikian disadari setiap ekspresi kebebasan tak terelakkan akan menghadirkan pihak penentang.

Ketiga, untuk Metro TV, Republik Mimpi adalah tayangan original dan alternatif untuk Indonesia: memberi perspektif berbeda mengenai tayangan televisi. Segmen penonton Metro TV satu garis lurus dengan sasaran Republik Mimpi. Slogan program tersebut sebagai kantor berita NEWSdotCOM seirama dengan karakter Metro TV sebagai televisi berita. Lagi pula ada sponsor dan rating yang lumayan. Undang-Undang Pers No.40/1999 juga melindungi pers dari sensor.

Keempat, untuk masyarakat, Republik Mimpi adalah bagian dari hak untuk mendapatkan tayangan bermakna. Ada informasi yang didapat. Ada kritik alternatif yang diperoleh. Ada seni akting yang bisa dinikmati.

Dengan empat peta di atas, sebenarnya tak ada jalan somasi menuju Republik Mimpi. Jalannya telah tertutup oleh kebebasan kita berkesenian, berekspresi, dan kebebasan pers. Jalan itu tertutup oleh semakin mengertinya kita terhadap apa beda kritik dengan olok-olok; parodi dengan olok-olok; dan kapan kita perlu serius dan tertawa.

Siapa berani menerobos jalan yang sudah tertutup itu, maka ia harus siap menuai badai: tak jadi populis di depan publik dan pers. Dalam sistem pemilihan one man one vote, tak populis berarti kalah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menteri-menterinya harus berhati-hati dengan rumus ini.

Biar publik yang menentukan Republik Mimpi, tak perlu campur tangan kekuasaan. Kalau pun ia sebuah tayangan buruk, biarkan publik yang menghukum. Bukan presenden yang baik bagi kebebasan dan demokrasi Indonesia jika pemerintah menyomasinya - meskipun somasi bisa dibenarkan juga atas nama kebebasan dan demokrasi.

Kebebasan memang sulit didapat namun lebih sulit lagi mempertahankannya. (Samsuri)

Tulisan ini dipublikasikan di situs parasindonesia.com, Selasa, 20 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar