Rabu, 05 Agustus 2009

Dekriminalisasi Pers

Sepanjang dua tahun terakhir, tercatat tidak kurang enam jurnalis divonis penjara karena karya jurnalistik mereka. Saat bersamaan, kekerasan terhadap pers dalam bentuk lain seperti penganiayaan, ancaman, sensor, pelecehan, dan pengusiran masih terus terjadi.

Kasus kekerasan terbaru adalah vonis sembilan bulan penjara yang diputuskan Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, 22 Desember lalu. Jurnalis Radar Jogja, Risang Bima Wijaya, menjadi korbannya. Sebelumnya beberapa jurnalis lain mengalami nasib serupa. Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka, Karim Paputungan (2003), diganjar lima bulan penjara dengan 10 bulan percobaan. Redaktur Rakyat Merdeka, Soepratman (2003), divonis enam bulan dengan masa percobaan satu tahun. Kemudian Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti (2004), dihukum satu tahun penjara (tanpa hukuman percobaan). Selain digiring ke bui, beberapa perusahaan media juga dihukum membayar ganti rugi. Koran Tempo dihukum membayar 1 juta dolar AS (2004), Majalah Trust Rp1 miliar (2004), dan Radar Jogja 600.000 dolar AS (2004).

Kekerasan-kekerasan ini ibarat virus ganas yang menggerogoti sendi-sendi kekritisan dan profesionalisme pers. Banyak jurnalis merasa bekerja tidak leluasa karena dibayang-bayangi kekerasan, denda, dan penjara.

Publik pada akhirnya yang paling dirugikan karena tidak mendapat informasi yang baik dan berkualitas. Demokrasi juga berjalan pincang. Sebab, pers sebagai salah satu sendi demokrasi, tidak mengalirkan daya bagi proses demokrasi sebagaimana mestinya.

Kalangan pers sendiri tidak tinggal diam menghadapi kekerasan. Perlawanan dengan berbagai cara ditempuh; kampanye, demonstrasi, lobi, protes, sampai introspeksi diri. Beberapa hasil dipetik, meskipun belum seberapa dibandingkan banyaknya kasus kekerasan yang menurut catatan SEAPA-Jakarta mencapai angka 97 pada 2003 dan 40 pada 2004.

Tren Kekerasan

Tren kekerasan dalam dua tahun terakhir mengarah pada "kriminalisasi pers". Istilah ini kurang lebih mengandung arti terjadi proses di mana jurnalis---disebabkan karya jurnalistik---dianggap layaknya seorang pelaku kriminal yang harus dibui. Pengadilan, polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan masyarakat masih banyak yang berpikir kesalahan wartawan sama seperti pencuri sehingga jika tertangkap harus ditahan, diadili, dan kemudian dipenjara.

Seperti yang menimpa wartawan Tabloid Borgol, Lukman Pagala, yang dimasukkan sel Kejaksaan Negeri Unaaha, Kendari, Sulawesi Tenggara, 2003 lalu. Tulisan Lukman yang menyoroti lemahnya kinerja Kejari Unaaha, terutama dalam menangani kasus-kasus korupsi, dianggap sebagai tindakan tidak menyenangkan dan mencemarkan nama baik kepala Kejari Unaaha. Perlakuan sama juga dialami wartawan Tabloid Busur, Gorontalo, Simson M. Diko, awal 2004.

Cara berpikir buruk dalam menilai kerja dan karya jurnalistik wartawan menjadi penyebab terjadi kriminalisasi pers. Kekolotan memandang perubahan, kegagalan memahami semangat reformasi, dan banyaknya penegak hukum bermental korup menjadi penyebab lain yang tidak bisa diabaikan.

Berbagai negara kini meninggalkan kebiasaan menjebloskan wartawan ke penjara karena karya jurnalistik. Penghargaan yang tinggi terhadap kemerdekaan pers dan tanggung jawab jurnalis pada publik menyadarkan bahwa memenjarakan jurnalis sama dengan menggiring negara ke rezim otoriterisme dan ketertutupan. Tahun 2002, Sri Lanka menghapus tuntutan pidana karena pencemaran nama baik (criminal defamation) dalam undang-undang mereka, tidak hanya untuk wartawan, tetapi juga masyarakat. Keputusan sejenis dikeluarkan Pemerintah Kosta Rika, Filipina, Jepang, El Salvador, Ukraina, Timor Leste---sekadar menyebut beberapa contoh. Amerika Serikat bahkan sudah mulai coba-coba menerapkannya sejak abad ke-18 dan kemudian membakukannya awal abad ke-20.

"Kereta dunia berlari kencang meninggalkan stasiun kriminalisasi karya jurnalistik," kata Bambang Harymurti dalam pleidooinya di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebenarnya menganut prinsip dekriminalisasi pers. Menurut UU tersebut, hukuman yang bisa dikenakan kepada jurnalis (media) hanya berupa denda sebanyak-banyaknya Rp500 juta.

Persoalannya, kini banyak sekali perkara pemberitaan pers diselesaikan dengan tidak menggunakan UU Pers melainkan KUH Pidana/Perdata. Alasannya--ini yang sering dikemukakan polisi, jaksa, maupun hakim--UU Pers dipandang tidak memadai dijadikan lex specialis. UU Pers, misalnya, tidak mengatur persoalan pencemaran nama baik dan kabar bohong.

Padahal, dua perkara ini paling sering muncul. UU Pers hanya mengatur kewajiban pers menghormati norma agama, kesusilaan, dan praduga tak bersalah (Pasal 5). Alasan tersebut banyak ditentang. Tidak disebutnya persoalan pencemaran nama baik dan kabar bohong secara eksplisit tidak berarti UU Pers bisa diabaikan begitu saja. Apalagi jika dibaca secara menyeluruh, UU Pers sebenarnya memberi petunjuk memadai untuk menyelesaikan sengketa akibat pemberitaan pers, termasuk pencemaran nama baik. Di antara argumentasinya dapat ditemukan dalam buku 1001 Alasan Undang-Undang Pers Lex Specialis yang ditulis Hinca I.P. Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dan diterbitkan Serikat Penerbit Surat Kabar.

Dalam ulasan singkat tentang buku ini, Amir Effendi Siregar menyatakan UU Pers Pasal 7 Ayat (2) yang menyebut, "Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalisitik" menjadi terobosan bahwa persoalan seperti pencemaran nama baik bisa diselesaikan dengan UU Pers. Kode Etik Jurnalistik (KEWI) dengan jelas menganut persoalan pencemaran nama baik, seperti disebut dalam butir keempat, yaitu melarang jurnalis menyiarkan informasi yang bersifat dusta dan fitnah. Dengan demikian, UU Pers dan KEWI merupakan satu paket. KEWI sendiri lebih bersifat self regulatory bagi pers.

Masyarakat yang merasa dicemarkan nama baiknya lewat media--yang berarti media bersangkutan melanggar KEWI--dapat mengunakan hak jawab dan hak koreksi. Jika media bersangkutan mengabaikan hak jawab, ia bisa dikenai pidana denda (Kompas, 23 September 2004).

Jika yang dituntut mereka yang dicemarkan melalui pemberitaan pers adalah keadilan, rasanya tuntutan perdata telah cukup; media meminta maaf, meralat, dan membayar denda. Namun, musibah gugatan hukum yang menimpa Tempo dan beberapa jurnalis belakangan, tampak lebih dimaksudkan balas dendam ketimbang menuntut keadilan. Balas dendam itu terpuaskan dengan dimasukkannya si jurnalis ke penjara; kebiasaan buruk yang mulai ditinggalkan banyak negara demokrasi. Niat menjebloskan jurnalis ke penjara bertambah kuat mengingat penegak hukum kita sangat suka menggunakan KUH Pindana, hukum peninggalan kolonial Belanda, yang dengan mudah menjerat jurnalis.

Pengalaman Sri Lanka, keberhasilan penggiat kemerdekaan pers di sana melakukan dekriminalisasi pers tak terpisah dari dukungan kekuatan politik. Menurut Asangka Welikala, peneliti di Associate in the Legal & Constitutional Uni of the Center for Policy Alternatif, Colombo, ketika Pemilu 2002 di Sri Lanka berlangsung, koalisi kuat yang beranggotakan organisasi pers, perusahaan media, dan jurnalis berkonsensus dengan kelompok oposisi. Mereka bersama menggulirkan menghapuskan criminal defamation dalam kampanye. Hasilnya, oposisi menang dan janji pun ditepati.

Pemilu 2004 lalu, koalisi serupa terbentuk di Indonesia. Lobi-lobi ke calon presiden dan partai politik dilakukan untuk dekriminalisasi pers. Namun, hasil yang didapat tampaknya tidak terlalu memuaskan. Pemerintah kini belum sadar--atau pura-pura tidak sadar--mereka adalah pemilik kunci persoalan ini (setidaknya untuk jangka pendek sebelum UU Pers dan KUHP direvisi parlemen). Kunci yang dimaksud adalah berupa desakan pemerintah kepada jaksa dan polisi menggunakan UU Pers atau tidak lagi memenjarakan wartawan ketika mengusut dan menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Sebab, hakim kita di pengadilan sangat suka mengikuti apa yang diajukan polisi dan jaksa; dua institusi yang berada di bawah kendali presiden. (Samsuri)


Tulisan ini pertama kali dipublikasikan harian Lampung Post, 16 Februari 2005
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2005021602014211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar