Kamis, 20 Agustus 2009

Infotainmen dan Informasi yang Diharamkan

Fatwa haram telah ditembakkan ke jantung infotainmen. Si penembak, tak tanggung-tanggung, organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU). Gayung bersambut, berbagai kalangan lintas agama mendukung, di dalamnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di Senayan.

Keresahan terhadap tayangan infotainmen sebenarnya sudah lama tertimbun di benak banyak pengamat media dan tokoh masyarakat. Dan fatwa haram NU itu bisa disebut "tembakan yang mematikan" terhadap infotainmen. Pesan yang ingin dibawa: banyak tayangan infotainmen sudah sampai pada tahap membahayakan. Tayangan yang dimaksud seperti menyebarluaskan aib seseorang, mengungkit-ungkit "dapur tetangga", cerai-nikah-rebutan anak atau perselingkuhan seolah jadi kebiasaan. Intinya hanya penuh bergunjing (ghibah) dan nyaris tiada - untuk tidak mengatakan tidak ada - kepentingan publik di dalamnya. Belum lagi soal prilaku wartawan infotainmen yang ketika mencari berita sering dinilai tak beretika.

Bos Bintang Group yang memproduksi tayangan infotainmen, Ilham Bintang, mengakui fatwa NU sebagai peringatan keras terhadap pengelola infotainmen. Meskipun demikian, ia menegaskan, yang diharamkan NU bukanlah infotainmen-nya tetapi isi tanyangannya. Lebih spesifik lagi, yang diharamkan adalah tayangan yang disebut ghibah atau bergunjing itu.

Sebelum fatwa NU muncul, kontroversi apakah infotainmen termasuk jurnalisme sudah berjalan selama tiga tahun terakhir. Kunci perdebatannya ada pada pemahaman terhadap apa itu kepentingan publik. Adakah kepentingan publik di balik tayangan kehidupan pribadi selebritas? Jawabnya beragam, subyektif, dan melibatkan emosi. Jika kepentingan publik dimaksud berhubungan dengan hak dan kewajiban masyarakat luas, dan ada hubungannya dengan negara, tentu infotainmen tidak termasuk di dalamnya.

Namun, kepentingan publik seringkali juga dipahami sebagai adanya kebutuhan informasi dalam diri masyarakat yang plural. Kebutuhan itu termasuk kebutuhan pada informasi hiburan, misalnya tentang kehidupan orang-orang yang diidolakan, seperti yang disuguhkan infotainmen.

Jika demikian, apakah perjinahan artis bisa disebut di dalamnya ada kepentingan publik? Kalau ini ditanyakan kepada Karni Ilyas, Ketua ATVSI, jawabnya "tidak". Perjinahan, katanya dalam sebuah diskusi, bukan kepentingan publik, karena hanya menyangkut suami dan istri. Perkara hukumnya pun delik aduan (harus ada pengaduan). Karena itu, ketika masuk ke ANTV, Karni lekas mengakhiri tayangan Betis (Berita Selebriti) yang telah lama disiarkan ANTV.

Infotainmen juga jurnalisme, begitu kira-kira kesimpulan diskusi tentang kontroversi infotainmen yang pernah digelar Dewan Pers tahun 2005 lalu. Semua sepakat wartawan infotainmen menjalankan "5 M" (mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, menyimpan, menyampaikan) informasi. Fungsi sebagai media informasi dan hiburan dipenuhi, sedangkan fungsi pendidikan dan kontrol sosial masih diperdebatkan. Pengelola infotainmen tentu saja akan bilang ada fungsi pendidikan dan kontrol sosial dalam tayangan mereka, meskipun tidak seluruhnya.

Persoalannya kemudian, jika setuju disebut sebagai sebuah genre dalam jurnalisme, infotainmen adalah pelanggar terbesar atas Kode Etik Jurnalistik. Cara kebanyakan wartawan infotainmen dalam mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi berbeda dengan wartawan media umumnya. Karena itu pula banyak yang menyamakan mereka dengan paparazzi - meskipun itu terlalu ekstrim.

Kode Etik Jurnalistik (2006) meminta wartawan untuk menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Apakah itu kepentingan publik, kode etik juga tidak mendefinisikannya. Dalam penjelasan hanya disebutkan "menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya berarti menahan diri dan berhati-hati". Sedangkan kehidupan pribadi merupakan kehidupan seseorang dan keluarganya yang tidak ingin diungkap, kecuali seseorang itu yang menginginkannya atau terkait kepentingan publik.

Wartawan yang menghormati kehidupan pribadi berarti tidak memaksa artis untuk menjawab pertanyaan, tidak menggedor-gedor pintu mobil, mengintai, menyodorkan pertanyaan yang sama sekali tak berdasar data atau fakta. Karena, jikapun wartawan mendapatkan berita dengan cara demikian, saya yakin berita yang didapatkannya tak lebih sebagai sebuah pergunjingan, kebohongan, dan pembodohan. Dan jika itu terus terjadi kita bisa dukung fatwa NU itu.

Di luar persoalan kepentingan publik yang belum tuntas, juga muncul perdebatan soal fakta. "Kalau memberitakan fakta perceraian artis, boleh dong sejauh itu fakta dan proporsional," kata Ilham Bintang dalam situs m3-access.com.

Etiskah jika seluruh fakta diungkap pers, meskipun menyangkut kehidupan pribadi? Tidak selalu. Fakta seharusnya bukan segalanya. Fakta tetap harus disaring melalui kode etik dan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga ada - Ketua NU Hasyim Muzadi menyebutnya – "kebebasan yang bernilai bukan kebebasan tanpa nilai". Jika seluruh fakta diungkap begitu adanya, saya yakin pers tak ubah tabung tempat bertemunya segala sampah informasi, percecokan tak penting, tanpa tujuan dan makna.

Karena itulah, kita tidak perlu disuguhi tayangan artis berseteru dengan ayahnya yang tidak mengakui ia sebagai anaknya. Atau melihat artis ngomel-ngomel di depan kamera karena dicerocos pertanyaan yang menurutnya dibuat-buat. Artis nikah-cerai-nikah sampai berkali-kali, dan berkata seolah ia hebat. Itu semua adalah fakta yang nilai negatifnya terlampau besar dari positifnya. Namun wartawan bisa menyaring fakta-fakta sampah menjadi bermakna. Itulah tantangan infotainmen. (Samsuri)

Sumber: www.parasindonesia.com / 13 Agustus 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar