Jumat, 09 Oktober 2009

Dibalik Tertawa Anggota Dewan

Judul Buku:
Ketawa Ngakak di Senayan:
Humor-humor Anggota DPR
Penulis:
Baharuddin Aritonang
Penerbit:
Pustaka Pergaulan,
Cetakan I, Oktober 2003
Cetakan IV, Januari 2004
Tebal:
xvii + 124 halaman


Banyak orang mengaku belum pernah menertawakan anggota dewan. Ada banyak penyebabnya: anggota dewan dianggap tak pantas ditertawakan, tidak menemukan tingkah laku anggota dewan yang bisa membuat tertawa, sampai alasan takut dituntut ke pengadilan. Untuk dua alasan terakhir, sebenarnya ada banyak kejadian yang bisa menyebabkan kita menertawakan anggota dewan: tertawa dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Kita juga tidak perlu takut dituduh melakukan pelecehan karena menertawakan mereka. Bagaimana caranya? Anda hanya perlu membaca buku “Ketawa Ngakak di Senayan: Humor-humor Anggota DPR”.

Dengan membaca buku ini kita diberi kesempatan menertawakan tingkah laku anggota dewan sepuas-puasnya: tertawa ngakak. Untuk semua itu Anda layak berterima kasih kepada Baharudin Aritonang, seorang anggota DPR RI dari Sumatera Utara. Dengan kreativitasnya Baharudin berhasil mengumpulkan 70 cerita lucu tentang anggota dewan ke dalam sebuah buku saku. Sebenarnya ada banyak lagi cerita lucu, namun dengan berbagai pertimbangan, untuk buku humor keduanya ini penulis hanya memasukkan 70 cerita.

Seperti buku humor pertamanya “Orang Batak Naik Haji”, buku kedua Baharudin juga sukses di pasaran. Sejak diluncurkan pertama kali pada Oktober 2003, sampai dengan Januari 2004 telah mengalami empat kali cetak ulang. Karena itu, untuk cetakan keempat, Baharudin merasa sudah pantas buku ini pada halaman covernya dibumbuhi kata best seller. Apa sebenarnya yang menarik dari buku humor ini?

Kalau kita coba menilai dari kualitas humornya, cerita-cerita yang ada di dalam buku ini sepertinya biasa-biasa saja. Tidak ada yang benar-benar bisa membuat kita ngakak: tertawa terpingkal-pingkal. Penyebabnya, karena cerita-cerita yang dikumpulkan kebanyakan adalah humor lisan yang terkadang sulit menjadi sesuatu yang lucu bila dituangkan dalam humor tulisan. Persoalan ini memang menjadi tantangan terbesar bagi penulis humor. Tapi, harus diakui, selera humor orang berbeda-beda. Bisa jadi banyak orang menganggap cerita dalam buku ini memang lucu-lucu.

Yang menarik dari buku ini lebih karena obyek leluconnya adalah anggota dewan di Senayan. Sesuatu yang baru, karenanya mempunyai daya tarik tersendiri. Ada apa di Senayan? Benarkah anggota dewan suka humor?

Namun, ternyata, yang lebih menarik lagi --kalau kita baca dengan ‘kesadaran mendalam’-- buku ini penuh dengan cerita ironi tentang penghuni Senayan. Ironi yang dimaksud adalah tingkah laku anggota dewan yang kita anggap bertentangan dengan yang seharusnya, yaitu yang diharapkan oleh rakyat. Dalam buku ini, keberadaan ironisme tersebut memang implisit. Namun, sebenarnya kita bisa dengan mudah menemukannya.

Simak cerita tentang “Kamera TV dan Sidang Paripurna”. Ternyata benar, banyak anggota dewan yang mau bicara hanya karena disorot kamera tv. Dianggapnya dengan dirinya terlihat di tv sedang berbicara, maka julukan 4D (datang, duduk, diam, duit) tidak lagi disandangkan kepadanya. Yang dibicarakannya pun hanya retorika belaka, tidak berbobot sama sekali, apalagi bermanfaat bagi konstituennya (halaman 32-33).

Tak kalah ironis adalah cerita “Tujuh Kata”. Selepas mengikuti sebuah rapat dalam sidang tahunan 2002, semua anggota dewan kembali ke hotel. Rapat hari itu diwarnai polemik perlu tidaknya dimasukkan kembali “tujuh kata” (kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) ke dalam UUD 45. Di ruang hiburan hotel anggota dewan melepas lelah sambil mendengarkan biduan bernyanyi. Sesaat kemudian si biduan mengajak satu persatu anggota dewan bernyanyi bersama. Kebetulan yang diajak pertama adalah seorang anggota dewan dari fraksi yang menuntut dimasukannya “tujuh kata” dalam amandemen UUD. Setelah beberapa saat menyanyi, anggota dewan itu keasyikan. Tidak disadari dia merangkul erat pinggang biduan sambil berhadap-hadapan. Anggota dewan yang lain teriak “Oeee…. Tujuh kata, tujuh kata!” anggota dewan itupun segera melepaskan tangannya.

***

Dua humor nyata di atas paling tidak bisa mewakili tingkah laku anggota dewan yang nilai ironisnya lebih muncul dari pada kualitas lucunya. Nyatanya, saat ini memang tidak lebih dari separuh anggota DPR yang layak disebut “wakil rakyat”. Lebih banyak yang malas daripada yang rajin, sehingga untuk mencapai quarum dalam sebuah rapat terkadang sangat sulit. Lebih banyak yang mementingkan diri dan golongannya dari pada kepentingan masyarakat mayoritas. Lebih banyak yang menuntut fasilitas mewah daripada “kesederhanaan”. Lebih banyak yang hanya sekadar pamer muka daripada yang serius bekerja. Belum lagi masalah money politic, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berseliweran di antara anggota dewan.

Ironi dari semua itu berujung pada: hati-hati kalau pilih wakil rakyat. Alih-alih mereka membela dan menyejahterakan rakyat, justru mereka bisa jadi parasitnya rakyat. Sialnya, Pemilu tahun 2004 yang diharapkan dapat menghasilkan anggota dewan yang berkualitas dan bertanggungjawab ternyata masih akan sulit terpenuhi. Sebab, sistem pemilihan anggota dewan, hasil dari kompromi politik di Senayan, masih memungkinkan muka-muka lama kembali mengisi kursi-kursi di DPR.

Tidak habis-habis rasanya kalau kita mau bicara tingkah laku anggota dewan yang “aneh-aneh” itu. Bukan disebabkan kita suka mengkritik, tetapi karena memang ada banyak masalah di Senayan yang layak dijadikan bahan kritik. Dan rupanya Baharudin termasuk orang yang berjasa menambah bahan kritik kita. Namun sayang, seperti kata Arswendo Atmowiloto dalam kata pengantar buku ini, beberapa cerita dalam buku ini sengaja diperhalus, meskipun humor itu sendiri sudah penuh tenggangrasa.

Larisnya buku humor ini agaknya juga menggambarkan semakin banyak orang Indonesia yang suka humor. Kalau begitu kita patut bersyukur, karena rasa humor kita selama ini telah dijajah politik refresif Orde Baru. Saat itu humor menjadi hiburan yang langka. Mahal, dan sangat sulit untuk dinikmati. Sekarang kita bebas mengekspresikan humor. Humor sambil mengkritik mudah dilakukan. Humor sambil berpolitik, seperti Gus Dur, juga tidak banyak risiko. Apalagi menulis humor untuk mengisi waktu, seperti Baharudin, sangat gampang dilakukan. Lagipula semua itu sangat bermanfaat, untuk mengendorkan urat sarat maupun menambah cerdas masyarakat.(Samsuri)


(Jakarta, 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar