Kamis, 05 November 2009

Menimbang Wartawan

Hari yang suram di Timor-Timur, 12 November 1991, ketika peluru-peluru dimuntahkan dari senjata tentara Indonesia. Ratusan tubuh roboh dengan darah mengucur. Pembantaian Santa Cruz, darah tercecer, dan moncong senjata itu menjadi tragedi bagi Amy Goodman, wartawan Amerika Serikat. Dan dalam bukunya Perang demi Uang: Kebusukan Media, Politikus, dan Pebisnis Perang (edisi Indonesia), ia menggugat diamnya media-media Amerika atas kekerasan di Timor-Timur. "Selama enam belas tahun, salah satu pemusnahan etnis terbesar pada abad ke-20 dianggap tidak layak diberitakan di Amerika," tulis Amy.

Amy Goodman, dalam pembantaian Santa Cruz, telah menemukan jalan bagi kesempurnaan diri sebagai wartawan: Mencari fakta lapangan, menemukan, memberitakan, dan kemudian menuai hasil. Amy tidak sekadar menulis dan berkata, dia saksi sekaligus aktor. Laporannya tentang pembantaian Santa Cruz menyadarkan dunia, telah terjadi pembunuhan besar di Timor-Timur. Solidaritas digalang dan akhirnya Indonesia harus mengakui, referendum 1999 menjadi jalan bagi kemerdekaan Timor-Timur.

Saya bayangkan begitulah wartawan mencari kesempurnaan dan menemukan kebenaran untuk berita mereka. Menemukan fakta atau menjumpai narasumber ibarat menuju kesempurnaan bagi dirinya. Kesempurnaan tercapai jika beritanya "berarti" untuk suatu perubahan yang kecil (individu) atau besar (masyarakat).

Namun, tidak cukup hanya fakta dan narasumber. Sering nurani dan intelektual wartawan lebih penting dari keduanya dan lebih menentukan. Mengikuti nurani dan intelektual seperti keharusan, nyaris tanpa beban, bahkan menjadi kesempurnaan tersendiri bagi seorang wartawan.

Lain halnya fakta atau narasumber. Keduanya bisa ditemukan di mana pun dikehendaki. Narasumber bisa berbohong, menghasut, dan memfitnah sesuai dengan kepentingannya. Sedangkan fakta (data) acap penuh manipulasi.

Jika semua fakta dan narasumber harus ditulis seperti adanya, akan banyak kebencian dan kebohonan yang wartawan kabarkan ke publik. Media pers tak ubahnya keranjang tempat bertemunya segala seteru, percekcokan tanpa tujuan, egoisme individu yang menenggelamkan kepentingan publik. Pers seperti ini tak akan pernah ada pengikutnya. Sebab, wartawan sama halnya menjerumuskan diri--dan menyeret konsumen--dalam kubangan kotor tanpa pernah menemukan jalan keluar.

Nurani dan intelektual memilah tumpukan kejadian menjadi punya tujuan dan bermakna dalam wujud berita. Ada banyak fakta dan narasumber. Kemudian ada yang diambil dan dibuang, didukung, dan ditolak sesuai dengan kuasa wartawan. Dari sini kita kenal beragam jurnalisme. Nurani dan intelektual menentukan ini semua.

Satu sisi, setumpuk contoh kebohongan fakta dan narasumber sudah kita simak dari sejarah. Dua contoh terbesar: Di Amerika narasumber dari kalangan pemerintah berbohong tentang Perang Vietnam: Kekalahan diberitakan sebagai kemenangan. Di Indonesia, puluhan tahun dalam cengkeraman rezim Soeharto, pers kala itu adalah humas penguasa yang bersuara merdu tentang kebohongan pembangunan, di bawah ancaman pemberedelan.

Sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana kuasa wartawan ikut "campur tangan" ketika berita diproduksi melalui sejumlah riset berita media. Analisis framing, misalnya, memandang wartawan tidak sekadar merefleksikan sebuah realitas, tetapi merekonstruksinya. Wartawan tidak hanya sekadar menyampaikan berita, tetapi juga menciptakan makna atas beritanya. Eriyanto mengupas persoalan ini dengan baik, disertai contoh-contoh, dalam bukunya Analisis Framing.

"Tak ada hukum tentang berita…akhirnya terserah kompas pemandu Anda sendiri yang akan menentukan apa yang Anda lakukan dan apa yang tidak," kata Carol Marin, penyiar ternama (Bill Kovach: 2003).

Saya tidak pernah bermaksud menimbang wartawan sebagai profesi tanpa dosa, tanpa salah, sehingga membiarkan dan membenarkan wartawan bebas semaunya tanpa rambu-rambu. Saya yakin, secara alamiah setiap profesi membutuhkan profesionalitas untuk bisa lebih berkualitas dan mendapat kepercayaan. Kualitas dan kepercayaan adalah modal utama bagi sebuah media untuk terus eksis dan punya peran dalam perubahan masyarakat.

Sebab itu, kode etik jurnalistik memandu wartawan untuk condong pada pilihan kata yang "benar" sebagai pertaruhan kualitas dan profesionalitas itu. Sehingga setiap berita adalah hasil dari pergulatan antara nurani, intelektual, kesadaran, dan kepentingan publik. Wartawan, dengan demikian, tidak hidup di "ruang kosong" dan mati tanpa jejak. Ada tujuan yang Ia pilih dan ingin raih dengan cara terpuji.

"Wartawan tanpa keberpihakan moral tertentu adalah mustahil," kata sutradara film, Marquerita Duras, "setiap wartawan adalah seorang moralis. Itu tak terhindarkan. Wartawan adalah seorang yang memandang dunia dari cara kerjanya..." (Koran Tempo, 21 Agustus 2005).

Demokrasi dan kebebasan pers telah menyediakan mekanisme yang baik untuk memilih siapa wartawan terbaik, untuk mengetahui siapa wartawan yang mendompleng kebebasan menulis dengan mengabaikan kepentingan banyak pihak. Siapa wartawan yang menjadikan kuasa dirinya bisa berarti bagi perubahan menuju perbaikan. Jurinya adalah masyarakat, dengan nurani dan intelektual mereka pula --ini idealnya.

Sekali lagi, demokrasi telah mengatur dengan baik bagaimana mekanisme ini dijalankan. Proses ini hanya mungkin berjalan di dunia pers yang bebas yang menghargai perdebatan. Saat penguasa bersikap represif atau ruang redaksi penuh monopoli, "kebenaran" ada di tangan sedikit orang. Nurani dan intelektual diperdagangkan--dan hampir pasti--dengan barter uang dan kekuasaan.

"Pada akhirnya, menulis atau menyampaikan berita adalah sebuah laku moral," tulis Goenawan Mohamad, untuk menegaskan kerja jurnalistik serta berita yang berkualitas dan berarti akan mengantar wartawan pada kesempurnaan moral. (Samsuri)

Tulisan ini dimuat di harian Lampung Post, Senin, 28 November 2005 (http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2005112801241643

Tidak ada komentar:

Posting Komentar