Kamis, 05 November 2009

Realitas Politik di Media Massa

Pemilihan Umum 2004 usai sudah. Tahun ini, rakyat Indonesia mencatat sejarah baru tentang demokrasi. Pemilihan legislatif dan presiden langsung, melibatkan 140 juta-an pemilih! Semua ini bukan pekerjaan mudah. Heterogenitas menjadi potensi yang mengacaukan jika tidak berhasil dikelola dengan baik. Sejauh ini, kita telah merencanakan demokrasi, menjalankan, dan memenangkannya dengan sejuk tanpa berdarah-darah. Rakyatlah pemenang sesungguhnya.

Apa yang menarik dipelajari dari proses pemilu kali ini? Selain sistem pemilu, fenomena partai politik dan calon presiden, kita bisa kembali menengok peran media massa. Singkatnya, selama pemilu media sempurna memerankan diri sebagai bagian penting yang tidak bisa diabaikan siapa pun yang bergulat dalam pemilu. Tidak hanya bagi seluruh kontestan pemilu, tetapi juga lembaga-lembaga yang berkait dengan penyelenggaraan pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kita patut catat, kesuksesan pelaksanaan pemilu adalah juga kesuksesan media. Media dengan sukaria dan murah hati menyebarkan banyak informasi tentang proses pemilu yang mendidik, menjadikan masyarakat sebagai pemilih cerdas dan bebas. Selama pemilu tidak terdengar propaganda kekerasan melalui media.

Peran besar media kali ini terjadi karena perkembangan pesat industri media di Indonesia, terutama media elektronik. Saat ini ada 11 stasiun tv nasional, puluhan stasiun televisi lokal, ratusan media cetak, dan ribuan radio. Sementara, pada saat bersamaan, perkembangan teknologi informasi di Indonesia memungkinkan masyarakat bisa lebih mudah mengakses media. Media bisa menyebar lebih luas. Konsumen media pun bertambah, berlipat ganda. Memang belum ada data lengkap mengungkap berapa persen penduduk Indonesia yang hidupnya sering berhubungan dengan media. Namun, secara sederhana kita bisa klaim jumlahnya lebih dari 2/3 persen.

"Perang" dalam pemilu telah bergeser ke wilayah media. Pergeseran seperti ini belum begitu tampak pada Pemilu 1999. Sekarang semua kontestan pemilu mengaku, dana terbesar pemenangan pemilu dialokasikan untuk kampanye di media. Penelitian Transparency Internasional Indonesia (TII) menunjukkan selama kampanye legislatif tidak kurang Rp154 miliar dihabiskan partai politik untuk memasang iklan di media. Dana terbesar dikeluarkan partai yang sedang berkuasa, PDI Perjuangan, kurang lebih Rp50 miliar, disusul Partai Golkar Rp36 miliar. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) adalah partai yang paling sedikit mengeluarkan uang untuk iklan (Rp227 juta).

Menaklukkan Media

Selama berlangsung pemilu, media seperti "bunga desa", diperebutkan agar dapat dipersunting untuk satu tujuan: kemenangan politik. Terang saja, memenangkan pemilu pada era media massa populer adalah soal bagaimana mengemas diri kita di layar televisi, halaman koran, dan siaran radio. Begitu sederhana dan mudah bagi mereka yang cerdas memilih strategi, memiliki banyak uang atau pandai beretorika. Partai Golkar, juara pertama pemilu legislatif, dan Susilo Bambang Yudhoyono, pemenang pemilu presiden, membuktikannya. Liputan Media massa, harus diakui, sangat berpengaruh bagi kemenangan keduanya. Takdir media massa selalu tunduk pada news value (nilai berita). Siapa pun yang pandai membuat news value, berarti dia memenangi pertarungan melalui media. Golkar dengan politikus-politikus seniornya, sangat berpengalaman dalam persoalan ini.

Lihat saja, melalui agenda "konvensi", selama berbulan-bulan Golkar menyedot perhatian media nasional dan lokal. Beberapa televisi nasional bahkan menyiarkan langsung konvensi itu. Banyak media yang secara khusus membuat tajuk untuk "memuji" konvensi dan Golkar yang dianggap sukses melakukan demokratisasi dalam internal partai. Selama konvensi berlangsung, Golkar seperti memasang iklan gratis di ratusan media. Kalangan media, dengan sadar atau tidak, secara sukarela kontinu memberitakan konvensi karena dianggap memiliki news value. Demikian juga Susilo Bambang Yudhoyono. "Perceraiannya" dengan Presiden Megawati Soekarnoputri dari Kabinet Gotong Royong dan kejadian "olok-olokan" antara dia dan Taufik Kemas, suami Megawati, berhasil dikemas menjadi peristiwa dramatik yang luar bisa berpengaruh bagi publik. Sempurna SBY menampakkan diri sebagai pihak yang dianiaya, diolok-olok, dan dikucilkan dari kabinet. Dalam sekejap popularitasnya meningkat bak roket. Dari awalnya hanya diperhitungkan sebagai calon wakil presiden, malah menjadi presiden terpopuler dari berbagai poling. Tak terbendung SBY akhirnya menjadi presiden dengan kemenangan telak atas Megawati. Tim kampanye SBY dianggap sukses mengemas kepribadian yang dipunyai SBY sebagai modal terpenting dalam beriklan di media. Lihat saja iklan-iklan kampanye SBY, sangat tampak "mengeksploitasi" kepribadian sebagai bahan rayuan kepada pemilih. Contohnya, kalimat "presiden keren" sempat akrab di telinga kita melalui iklan SBY-Kall versi "bincang-bincang anak muda" saat kampanye lalu.

Apakah ini berarti program kerja, visi, dan misi tidak berpengaruh besar? Ternyata mayoritas masyarakat kita belum menjadikan semua itu sebagai pertimbangan pertama dan utama. Penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan 23-25 Agustus 2004 menunjukkan kemenangan SBY atas Megawati lebih banyak disebabkan faktor kepribadian. SBY unggul di semua tipe kepribadian: kejujuran, kewibawaan, ketegasan, serta perhatian (Republika, 2 September 2004). SBY dan tim suksesnya, sekali lagi, berhasil memanfaatkan keunggulan ini dengan terus-menerus dan sebanyak mungkin SBY tampil di media. Mencitrakan SBY sebagai sosok yang ditunggu-tunggu, sosok yang paling tepat memperbaiki bangsa ini. Berbagai poling yang diselenggarakan lembaga-lembaga poling yang terus-menerus dipublikasikan media menjadi poin keberuntungan tersendiri SBY. Seringnya pemberitaan hasil poling yang menempatkan SBY sebagai kandidat terpopuler, turut berperan mendongkrat --setidaknya mempertahankan-- dukungan kepadanya.

Dilihat dari perspektif media, kemenangan Golkar dan SBY memperlihatkan tiga syarat bagi mereka yang ingin memenangi kompetisi melalui media: pandai mengemas isu, cerdas mengampanyekan kepribadian, dan berpenampilan "menarik" ketika tampil di hadapan media (publik).

Politik Media

Namun, di balik sukses media mengusung Golkar dan SBY, ada yang tidak boleh dilupakan masyarakat bahwa media --terutama televisi-- sebenarnya hanya bisa menghadirkan sisi-sisi terbatas dari politik yang sesungguhnya. Bidikan kamera dan coretan pena jurnalis adalah potongan-potongan peristiwa politik yang ditampung dalam durasi dan ruang terbatas.

Dia tidak akan bisa memberi gambaran realitas empirik politik yang sesungguhnya secara sempurna dan utuh. Para politikus paham persoalan ini. Karena itu, mereka membuat penampilan sebaik mungkin ketika berhadapan dengan media agar sepotong peristiwa yang ditangkap media adalah peristiwa yang menguntungkan secara politis untuknya. Yang terjadi kemudian tidak lebih sebagai realitas politik fatamorgana. Penampakan politikus di media penuh dengan kamuflase, dibuat-buat sekadar untuk menarik simpati. Politik pada era media populer seperti sekarang ini menjadi berwajah ganda: sebut saja politik empirik dan politik fatamorgana. Yang pertama adalah realitas politik yang sesungguhnya, yang nyata berupa tingkah laku politikus. Politik ini riil, tapi hanya diketahui kalangan terbatas, di luar sorotan media. Sedangkan politik yang kedua adalah realitas politik dari hasil representasi media terhadap politik empirik. Kedua realitas politik ini bisa sangat berbeda. Media meskipun berusaha menghadirkan politik yang sesungguhnya, tapi ia hanya bisa menghadirkan sebagian saja, itu pun melalui akting-akting berlebihan politikus di hadapan media. Akibatnya, apa yang tampil di media bisa lebih dahsyat dari realitas yang sesungguhnya. Karena itu, bagi masyarakat, menonton televisi atau membaca koran saja tidak cukup untuk mengenal politik(us) yang sesungguhnya. Dibutuhkan lebih dari tampilan di media. Semua ini butuh kecerdasan dan kecermatan, dan saya yakin masyarakat terus belajar. Hasilnya akan kita petik pada pemilu-pemilu selanjutnya. (Samsuri)


Tulisan ini dimuat di harian Lampung Post, Rabu, 6 Oktober 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar