Rabu, 30 Desember 2009

Kebenaran dalam Jurnalisme

Banyaknya gugatan hukum terhadap media belakangan ini memunculkan pertanyaan penting, apa yang disebut "kebenaran" dalam jurnalisme? Bagaimana kebenaran itu diperoleh? Pertanyaan ini mengemuka karena di pengadilan jurnalis selalu dibenturkan pada persoalan tentang kebenaran berita yang mereka tulis.

Begitulah, misalnya, yang dialami Majalah Tempo dalam kasus gugatan perdata dan pidana Tomy Winata. Pengusaha dari Group Artha Graha itu merasa dicemarkan nama baiknya karena berita Majalah Tempo dalam edisi 3--9 Maret 2003 berjudul "Ada Tomy di 'Tenabang'?" Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 18 Maret 2004 memutuskan Tempo bersalah. Di antara alasan hakim, dalam persidangan Tempo tidak bisa membuktikan bahwa benar Tomy Winata mengajukan proposal renovasi Pasar Tanah Abang, sebagaimana disinggung dalam berita Majalah Tempo. Sehingga, berita tersebut dinilai tidak benar serta cenderung memojokkan penggugat.

Sebelumnya, dalam gugatan yang berbeda, Koran Tempo juga dihukum untuk membayar ganti rugi satu juta dolar kepada Tomy Winata. Berita yang dipermasalahkan berjudul "Gubernur Ali Mazi Bantah Tommy Winata Buka Usaha Judi" yang muncul pada edisi 6 Februari 2003. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai berita tersebut tidak memunyai sumber yang jelas dan terbukti mencemarkan nama baik Tomy Winata.

Oleh kalangan pers, pernyataan hakim sepeti itu banyak ditentang. Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar, Sabam Leo Batubara, menyatakan tuntutan kepada pers untuk memuat berita yang memiliki kebenaran absolut tidak masuk akal. Karena kebenaran absolut tidak akan ditemukan dalam berita (Tempo, 28 Maret 2004).

Pencarian Kebenaran

Perdebatan tentang kebenaran telah menyita waktu pemikir-pemikir dunia. Epistemologi, sebagai cabang filsafat, mengawali dengan mengajukan pertanyaan mendasar: bagaimana kita dapat pasti bahwa yang kita ketahui adalah benar?

Berbagai paham kebenaran kemudian muncul. Setidaknya ada empat yang paling berpengaruh: paham koherensi (benar jika saling berhubungan), paham korespondensi (benar jika saling berkesesuaian), paham empirisme (benar jika pengalaman fisik), dan paham pragmatisme (benar jika ada nilai guna). Selama berabad-abad ukuran-ukuran kebenaran ini terus diperdebatkan. Perkembangannya mengikuti kepentingan peradaban yang ingin dibangun manusia pada masanya. Paham yang satu dengan lainnya bergantian saling mendominasi kemajuan pengetahuan manusia.

Dalam jurnalisme, polemik tentang kebenaran juga berkembang. Namun, perdebatannya tidak semenarik dan sekeras dalam filsafat. Sebagai sebuah prinsip, kebenaran sangat jarang diajarkan secara khusus dan mendalam dalam acara training jurnalis dan semacamnya. Kebenaran sudah dianggap sebagai doktrin harga mati bagi jurnalis, yang anehnya, justru dirasa tidak menarik dan penting lagi untuk dibicarakan. Kebenaran pun diterjemahkan dalam pemahaman yang sederhana, misalnya: "wawancaralah dan kemudian beritakan, maka itu benar."

Kebenaran dalam jurnalisme ternyata tidak sesederhana yang dipahami mayoritas wartawan. Banyaknya wartawan yang diseret ke pengadilan dan perusahaan media didenda akibat pemberitaan, memberi peringatan bahwa kebenaran dalam jurnalisme penting untuk terus dibahas. Lebih penting lagi dijadikan materi tersendiri dalam training-training dasar jurnalis.

Pentingnya membicarakan kebenaran ditegaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Mereka menempatkan kebenaran sebagai prinsip pertama dalam jurnalisme dan sekaligus dianggap sebagai prinsip yang paling membingungkan. Dari sekitar 1.200 wartawan yang diwawancarai untuk pembuatan buku tersebut, semuanya menempatkan kebenaran sebagai kewajiban pertama bagi pers. Namun sayangnya, menurut kedua penulis itu, kebenaran yang dijelaskan jurnalis lebih diambil dari hasil wawancara, pidato, atau konferensi pers.

Pendapat tersebut memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Sebagian dari kerja jurnalistik adalah mencatat informasi dari narasumber, termasuk hasil wawancara atau konferensi pers. Namun, jika itu yang menjadi target dan kebiasaan, wartawan akan menjadi pelaku yang pasif. Dia lebih sebagai agen yang memuluskan kepentingan atau terperangkap agenda dari narasumber.

Kenyataan--tepatnya kelemahan--inilah yang dibidik orang-orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan media. Dengan begitu mudah mereka menggugat wartawan ke pengadilan akibat mengutip pernyataan orang--bahkan sumber resmi pemerintah. Padahal, UU No. 40/1999 tentang Pers jelas mengatur penyelesaian melalui hak jawab dan hak koreksi bagi yang merasa dirugikan. Lalu, kebenaran semacam apa yang sebaiknya diproduksi pers?

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel membahas secara detail persoalan ini dengan sangat menarik. Mereka menemukan dan merumuskan "kebenaran fungsional" sebagai pilihan. Kebenaran fungsional menuntut jurnalis menulis fakta-fakta dalam pengertian yang berguna bagi kehidupan sehari-hari masyarakat. Begitu banyak fakta di masyarakat, tapi jarang jurnalis yang mampu melahirkan karya jurnalisme yang berguna dengan melaporkan kebenaran dari fakta-fakta itu. Mengungkap hal yang implisit dari fakta-fakta yang ditemukan di awal liputan adalah kerja-kerja jurnalis untuk memenuhi "kebenaran fungsional" bagi beritanya.

Apakah dengan berhasil melahirkan berita yang memenuhi prinsip kebenaran fungsional, sudah bisa menjamin jurnalis tidak dikalahkan di pengadilan? Jawabannya "tidak".

Persoalannya di sini, banyak hakim di Indonesia yang tidak memahami fungsi pers dan mekanisme kerja keredaksian. Lebih parah lagi, kebenaran jurnalisme menurut hakim dirumuskan dalam versi mereka, yaitu, sebut saja, paham empirisme. Isi berita hanya dinilai benar jika buktinya bisa dihadirkan secara fisik di ruang pengadilan. Pengamat sering menyebutnya kebenaran absolut: ada saksi, ada bukti, maka logika hukum akan memenangkan. Pemahaman seperti inilah yang memakan korban Koran Tempo dengan vonis denda satu juta dolar--barangkali inilah hukuman tertinggi yang pernah dialami sebuah perusahaan media, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.

Kebenaran menurut hukum semacam ini sangat berbeda dengan pemahaman kebenaran dalam jurnalisme. Sulit meminta jurnalis bisa 100 persen membuktikan secara empiris kebenaran informasi yang mereka tulis. Pers bekerja mirip dengan paham pragmatisme. Nilai kebenaran lebih dipilih berdasarkan prinsip keberpihakan dan kebaikan untuk publik. Pada kenyataannya, jurnalis memang lebih mengandalkan narasumber untuk mempertanggungjawabkan kebenaran informasi yang diberikan. Terkadang saja jurnalis menindaklanjuti informasi tersebut. Terlebih lagi bagi media situs atau elektronik yang mengejar kecepatan tayang, membuktikan sendiri kebenaran informasi dari narasumber sulit dilakukan--kecuali untuk tayangan tertentu yang membutuhkan liputan mendalam.

Menurut mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, kebenaran dalam jurnalisme lebih bersifat early warning system (sistem peringatan dini). Pihak-pihak di luar pers sebenarnya yang pada akhirnya akan menindaklanjuti memastikan kebenaran informasi yang diperoleh pers. Dengan demikian, kebenaran bagi pers, pada umumnya, tercapai dengan memenuhi prinsip dasar peliputan seperti akurat dan berimbang. Bukti kebenarannya, misalnya, dalam bentuk dokumen wawancara.

Pengertian kebenaran semacam ini sulit diterima hakim di Indonesia. Penyebabnya, pemahaman hakim tentang Undang-Undang Pers serta perkembangan demokrasi di Indonesia--di mana kebebasan pers menjadi pilar penting di dalamnya--masih rendah. Hanya sedikit hakim yang mau menjadikan fakta sosial dan jurnalistik sebagai pertimbangan dalam memutus perkara pers. Padahal, di antara fakta-fakta tersebutlah banyak jurnalis menulis berita. Fakta sosial menuntut pers konsisten membela kepentingan publik. Bekerja atas pertimbangan kebaikan publik.

Dalam kondisi demikian, memang tidak ada jalan lain bagi jurnalis selain harus lebih berhati-hati dalam menulis berita. Tentu saja ini tidak dimaksudkan untuk melakukan self sensor. Akurasi menjadi begitu penting terus dilakukan. Pada saat teknologi informasi berkembang pesat, tantangan terberat wartawan adalah akurasi berita. Di situlah sebuah media akan memunyai nilai lebih.

Di sisi lain, komunitas pers tertantang terus-menerus melakukan kampanye tentang UU Pers, terutama penggunaan hak jawab dan hak koreksi. Kepada pengadilan diminta tidak menempatkan kebenaran hukum sebagai satu-satunya pertimbangan ketika memutuskan perkara akibat pemberitaan pers.

Saat ini adalah tahap yang merisaukan. Jika tidak terkontrol, pers bisa terus dikalahkan. Selanjutnya publik akan menganggap pers kita memang bermasalah dan patut dihukum. Jika demikian, berarti kemunduran bagi kebebasan pers. (Samsuri)

(Dimuat di Harian Lampung Post, Kamis, 6 Mei 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar