Kamis, 31 Desember 2009

Sayap Kemenangan Islam

“Ketahuilah bahwa ayah dan ibu dari dunia yang lembut adalah
akal yang mulia dan jiwa yang rasional. Janganlah kamu memisahkan diri
dari pasangan yang mulia ini, jangan mengingkari kedua akar ini…
Mereka memberi substansi pada langit dan pilar-pilar, mereka menjaga dunia ruh.
syair Sana’i, dikutip dari Sachiko Murata)


Umur agama adalah seusia kehidupan manusia. Awal kehadiran manusia adalah juga awal keberadaan agama. Sampai saat ini, jagad manusia selalu dan terus menempatkan agama sebagai sesuatu yang berpengaruh dahsyat bagi masa depan manusia. Memajukan atau tidak, diterima atau tidak, agama dalam setiap sejarah manusia akan tetap menjadi sesuatu yang menentukan, diperbincangkan sebagai sistem kepercayaan yang punya arti penting dalam relasi kemanusiaan (sosial) manusia.

Huston Smith punya komentar mengapa agama bisa sedemikian penting; karena ia adalah pintu gerbang bagi kekuatan kosmos yang tercurah ke dalam eksistensi manusia. Ia mengilhami pusat-pusat kreatif manusia, memberi lambang-lambang yang menggerakkan sejarah (1985:13).

Sedemikian diakuinya agama, tentu tidak terlepas dari sistem kepercayaan transendental yang ada di dalam setiap agama dan juga umat beragama sebagai pelaku sistem itu. Dua hal ini merupakan kunci untuk dapat melihat pentingnya agama dalam sejarah manusia. Kekuatan sistem kepercayaan sebuah agama sekaligus konsistensi pemeluknya untuk menjalankan sistem itu, akan menjadi ukuran seberapa besar sebuah agama bisa turut menyumbang perjalanan peradaban manusia. Semakin rapuh sistem dan konsistensi, akan semakin kecil sumbangan sebuah agama, demikianpun sebaliknya.
Berangkat dari dua hal ini pula, penulis akan mencoba melihat dimensi eksoteris-esoteris sistem kepercayaan Islam untuk menjawab femomena kegamangan mayoritas kaum muslim dalam menjalankan ajaran Islam. Menariknya, Islam sering disebut sebagai memiliki sistem kepercayaan yang paling orisinal dan universal serta dinamika penganut ajaran yang kompleks.

***

Menyebut 80% lebih penduduk Indonesia beragama Islam dan menjamurnya tempat-tempat ibadah umat Islam, terkadang kita terlalu mudah mengeneralisir bahwa kaum muslim di Indonesia telah menyumbang kemajuan yang sangat berarti. Padahal, telah cukup banyak cendekiawan melihat bobroknya moralitas bangsa ini, yang secara jujur sebenarnya mempertanyakan tangung jawab kaum muslim sebagai pemeluk mayoritas, walaupun agama bukan satu-satunya faktor.

Semua kenyataan ini sekaligus menegaskan bahwa ternyata, banyak kaum muslim yang belum sampai pada kemenangan dalam beragama. Kemenangan dalam bentuk kesalehan individu dan sosial sebagai cita terakhir dari setiap bunyi doktrin Islam, hanya milik minoritas kaum muslim. Banyak masjid megah didirikan, tetapi tetap saja tidak mampu menjawab dekadensi moral yang melanda. Berhaji telah menjadi rutinitas pejabat-pejabat pemerintah, namun KKN justeru semakin akut menjangkiti birokrasi. Ini berarti ada kesalahan massal yang dilakukan, dan menuntut diagnosa yang cermat.

Tasauf acap melihat apa yang disebut kemenangan itu sebagai tempat mulia yang suci dan tinggi. Ia adalah langit tertinggi dan hanya bagi mereka yang telah berhasil melampau kabut tebal dunia di sepanjang pendakian, yang bisa sampai ke sana. Karena itu, kita butuh sayap untuk mencapai langit kemenangan itu, dan sayap itu tidak lain adalah akal dan jiwa.

Akal dan jiwa ini pulalah yang dapat menjawab tuntutan pemenuhan dua dimensi Islam, eksoteris-esoteris, yang sering digambar seperti dua sisi mata uang yang tak bisa diabaikan satu di antara keduanya. Keduanya harus diraih.

Eksoterisme merupakan simbol-simbol ritual, kesalehan sosial yang tervisualkan, lambang-lambang dan kecerdasan akal yang tertunduk pada khalik (pencipta). Sedangkan esoterisme adalah munajab jiwa “dalam Tuhan”, bunyi-bunyi kesunyian dan kesucian jiwa yang melebur dalam keagungan Tuhan.

Walaupun ketegangan pernah terjadi pada penganut dua dimensi ini dalam sejarah Islam, yang diantara keduanya mengakui paling benar, usaha-usaha untuk mengkonvergensikannya tetaplah menjadi keharusan, seperti yang pernah dicoba oleh Al Ghazali sepuluh abad yang lalu. Karena kemenangan bagi umat Islam itu ada di sini.

Eksoterisme=Akal

Menjalankan eksoterisme Islam dalam konteks ini, bukan hanya berarti kita melakukan kewajiban 5 rukun Islam. Tetapi juga kemampuan kita untuk menangkap hikmah besar dibalik setiap simbol-simbol ritual itu dan juga alam raya, untuk kemudian dimaknai dalam ruang sosial, yaitu menyantuni dan mengasihi sesama manusia serta memelihara alam raya dari kehancuran. Semua ini bisa dicapai dengan melakukan “pemberdayakan akal”.

Tentang akal, al-Qur’an kurang lebih menyebut 50 kali kata ya’qilun (berakal), 26 kali kata yatafakkarun (yang berfikir), 25 kali kata yasy’urun dan tasy’urun, 16 kali kata uli al-albab (orang-orang yang berakal), baik secara implisit maupun eksplisit (H.M.Rasjidi dkk: 1988). Satu diantara ayat itu: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk dan dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. 3: 190-191)

Akal dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa, bahkan menjadi sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits. Beberapa ayat menyebut keberuntungan dan kemenangan bagi mereka yang mau memberdayakan akal. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir” (Q.S. 45:13).

Bagaimana kita melakukan proses pemberdayaan akal untuk mencapai kemenangan? Jalannya adalah melalui tafakur. Achmad Chodjim dalam buku “Islam Esoteris”-nya Anand Krisna, menyebut tafakur merupakan bagian dari khusyuk (meditasi) yang bersifat kreatif dan discovery (penemuan). Tafakur adalah sebuah kerja akal yang tak putus-putusnya untuk mengungkap simbol dan lambang yang ada di jagad raya. Melalui tafakur, umat Islam bisa sampai di lapisan lubb atau kesadaran kasyaf, dimana rahasia alam akan tersingkap dan ayat-ayat al-Quran akan termaknai.

Dengan tafakur, penemuan-penemuan besar ilmu pengetahuan terjadi. Dengan tafakur juga, kita akan menemukan rukuk, sujud, menahan haus dan lapar atau haji tidak hanya sebagai gerakan-gerakan yang wajib dilakukan dalam syari’ah, tetapi semua itu adalah hikmah keagungan Tuhan yang akan mengantarkan kaum muslim pada kesalehan sosial yang dicitakan. Semua gerakan ritual dan hukum alam akan menjadi saksi bagi yang ber-tafakur, bahwa hidup ini mustilah berarti bagi yang lain, di luar diri kita.

Esoterisme=Jiwa

Sayap kemenangan kaum muslim yang kedua adalah jiwa. Melalui pemberdayaan dan olah jiwa, esoterisme Islam dapat dicapai sebagai puncak dari spiritualitas Islam. Sejarah para sufi telah meninggalkan kepada kita kekayaan pengetahuan, bagaimana cara memberdayakan dan mengolah jiwa untuk bisa sampai ke langit kemenangan berupa keshalehan individu dengan kesucian jiwa.

Ada tiga tahap/tingkat jiwa menurut Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam. Tahap yang terendah adalah “jiwa yang menguasai kejahatan”. Tingkatan ini dimiliki oleh orang yang masih dikuasai kelalaian dan bergantung pada kehidupan dunia. Tahap kedua merupakan tahap “jiwa yang menyalahkan”, yaitu bagi mereka yang mengakui kelemahan-kelemahan diri sendiri serta sedang berjuang untuk kesempurnaan dan kedekatan pada Tuhan. Tahap tertinggi, “jiwa yang damai” adalah tahapan yang diperoleh oleh mereka yang mencapai kesempurnaan sebagai manusia (1998: 333).
Dalam ketiga tingkat jiwa ini, akan menjadi suatu proses yang terus menerus berdinamika, berkembang naik-turun sesuai dengan usaha-usaha pemberdayaan dan olah jiwa yang dilakukan seseorang.

Untuk mencapai tingkat “jiwa yang damai", Rabi’ah al Adawiyah melakukan pemberdayaan dan olah jiwa melalui mahabah (cinta) sebagai jalannya. Dengan mahabah Rabi’ah menemukan dan merasakan nikmatnya esoterisme Islam. Saat dimana makhluk dengan kesucian jiwa melebur dalam keagungan Tuhan. Mahabah bagi Rabi’ah adalah jalan yang panjang yang musti dilaluinya untuk mendapatkan “hangatnya cinta Tuhan”.

Al Ghazali dengan tasauf sunni juga mencapai hal yang sama. Menemukan berbagai maqom (tingkatan) yang musti dilalui untuk mencapai kemenangan. Jalan sebagai mutakallimin atau filosof yang pernah dialaminya, merupakan perkembangan jiwa yang keras. Dan akhirnya ia temukan kebenaran dalam tasauf, meraih “jiwa yang damai’ dan mengantarkannya menjadi tokoh berpengaruh besar bagi perkembangan umat Islam dunia.

Dua tokoh tasauf di atas memang telah banyak dinilai gagal untuk memberi contoh bagaimana umat Islam harus mampu meraih dua kebutuhan dan kewajiban hidup, yaitu dunia-akhirat. Kedua tokoh ini bagaimanapun juga tetap memberi porsi akhirat secara berlebih dan “melalaikan” kewajiban dunia.

Namun biarlah, karena sejarah tasauf ini adalah kekayaan esoterisme (batin) Islam yang luar biasa. Sekarang tinggal bagaimana kita mampu meramunya dengan kekayaan eksoterisme Islam, sehingga kejayaan Islam tidak hanya pada ruang-ruang batin pemeluknya tetapi juga pada simbol-simbol dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akal dan jiwa adalah dua sayap yang siap mengantarkan kita sebagai “manusia yang menang” di dunia dan akhirat. Keduanya nyata dan ada dalam diri kita. Akal sebagai sarana untuk kita bisa mengerti dan menggali kebesaran hukum Tuhan dalam alam ini, menjadi manusia yang berarti bagi manusia dan alam. Sedangkan jiwa adalah ibu yang siap melahirkan kita sebagai manusia yang damai, yang berhasil mendapatkan kenikmatan batin dalam bertuhan. (Samsuri)

Jakarta, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar