Rabu, 31 Maret 2010

Menguatkan Sistem Etika (Pers)

KUNJUNGAN Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, ke Dewan Pers awal September 2006 menawarkan apa yang kurang lebih bisa disebut sebagai sistem etika. Jimly memberi alasan yang kuat mengapa sistem etika memberi harapan bagi perubahan ke arah yang lebih baik, terutama untuk mengurangi beban hukum yang semakin berat (pada tahun 2007 jumlahnya lebih dari 100 ribu perkara dan terus bertambah setiap tahunnya). Lebih dari itu, berjalannya sistem etika secara baik merupakan wujud kemampuan masyarakat dalam menata atau mengatur hubungan fungsional mereka secara mandiri, tanpa banyak bergantung pada negara.

Tulisan ini ingin menangkap tawaran dari Mahkamah Konstitusi. Sebab, tawaran tersebut sangat berarti bagi komunitas pers yang terus berupaya memperkuat swaregulasi dengan Dewan Pers sebagai lokomotifnya.

Ada beberapa rujukan filosofis yang memperkuat sistem etika.

Penerapan

Sistem etika didasarkan pada kenyataan bahwa etika bukan pengetahuan teoritik saja. Etika telah menjadi pengetahuan yang bisa sangat praktis. Diwadahi di antaranya dengan keberadaan organisasi kemasyarakatan yang ada di tingkat rukun tetangga sampai tingkat nasional, lembaga independen, dan organisasi profesi, sistem etika adalah harapan bagi tumbuhnya tata nilai bermasyarakat dan bernegara yang lebih berkualitas.

Dalam prakteknya, penerapan sistem etika terutama sekali mengandalkan efektivitas kerja organisasi kemasyarakatan, lembaga independen, dan organisasi profesi yang dibentuk untuk menegakkan etika. Ada tanggung jawab pada lembaga dan organisasi itu untuk membuktikan bahwa sistem etika dapat ditegakkan dengan baik. Mereka garansi bagi penegakan sistem etika. Karena itu, peran masyarakat diperkuat, sedang wakil pemerintah (negara) sangat diminimalisir bahkan dihilangkan.

Lembaga yang saya maksud seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Yudisial, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Badan Kehormatan DPR RI, Dewan Kehormatan Advokat, Dewan Pers, dan organisasi kemasyarakatan yang bentuknya beragam. Masih banyak wadah sejenis, yang dibentuk atas inisiatif masyarakat, internal organisasi profesi, maupun perintah undang-undang. Mereka adalah eksekutor sistem etika berdasar kode etik masing-masing profesi atau tata nilai yang dianut.

Kekuatan putusan dari wadah-wadah ini pun beragam. Ada yang bisa sekuat putusan pengadilan dan memiliki kekuatan hukum. Ada yang sebatas sanksi etika atau moral. Lembaga seperti Dewan Pers, misalnya, putusannya hanya berupa sanksi etika --biasanya berbentuk rekomendasi kepada pers yang melanggar etika untuk memuat Hak Jawab disertai permintaan maaf. Pers profesional akan bersedia menjalankan putusan Dewan Pers tersebut. Kesediaan itu harus dimaknai sebagai upaya bersama untuk memperkuat sistem etika di lingkungan pers.

Civil Society

Sistem etika harus ditegakkan dan dihargai sebagaimana kita juga terus berupa menegakkan dan menghargai hukum. Bahkan, sebaiknya sistem etika menjadi pintu pertama yang dilalui dalam penyelesaian penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Hukum adalah pintu kedua jika cara pertama tidak dapat menghadirkan solusi terbaik. Dengan begitu beban hukum bisa berkurang dan penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cepat, murah, serta memuaskan. Masyarakat juga bertambah kuat dan cerdas dalam menjalankan hubungan fungsional mereka.

Lebih dari sekadar pengurangan beban hukum, penegakan sistem etika juga merupakan bentuk penguatan civil society sebagai syarat berjalannya demokrasi. Ashadi Siregar, Dosen Universitas Gadjah Mada, menyebut ciri civil society yang kuat adalah adanya penegakan etika oleh masyarakat melalui institusi atau lembaga independen yang dibentuk oleh masyarakat atau negara. Ada hubungan struktural fungsional: saling menghargai dan kemudian bersama menegakkan etika yang ada. “Domain hukum mengecil seiring dengan meluasnya domain etika”, katanya.

Setiap persoalan yang dianggap bisa diselesaikan melalui etika, bagi Ashadi, merupakan perluasan dan penguatan civil society. Sebaliknya, jika setiap persoalan ingin diselesaikan dengan hukum, maka negara menjadi semakin kuat dan ikut campur dalam seluruh kehidupan masyarakat. Karenanya keinginan memperkuat civil society harus juga mempertimbangkan strategi perluasan wilayah etika dalam proses interaksi di tengah masyarakat.

Filosofi etika

Kecenderungan terhadap penguatan sistem etika juga ditandai dengan berbagai gagasan mengenai etika global: sebuah etika yang dapat menembus subyektivitas global sebagai landasan untuk kedamaian dunia. Tokoh yang dikenal giat mendorong etika global adalah Hans Kung. Ia optimis dengan gagasan ini. Baginya, kurang lebih, etika global seperti cahaya di ujung lorong gelap perbenturan berbagai etika lokal yang saling berebut dominasi. Di sisi lain, ini adalah penangkal ekslusivitas agama. Semacam keputusasaan terhadap peran agama dan sekaligus semangat sekularisasi.

Meski demikian, gagasan etika global menuai berbagai kritik. Salah satunya datang dari pemikir Zygmunt Bauman. Menurutnya, obsesi etika global justeru bertentangan dengan sifat etika yang pluralistik, beragam, melandaskan diri pada kebebasan dan tanggung jawab. Etika global justeru adalah sebuah gagasan tentang “kesamaan”.
Kepatuhan terhadap etika adalah kesadaran dalam diri. Karenanya etika bernilai tinggi. Filosof David Hume meletakkan kemanfaatan, kebahagiaan, dan perasaan akan kebaikan sebagai landasan kepatuhan terhadap etika. Thelma Z. Lavine dalam buku Dari Socrates ke Sartre menilai David Hume sebagai penentang rasionalitas sebagai landasan ketaatan terhadap etika.

Kesadaran pada manfaat, kebahagiaan, dan kebaikan bersama itulah sebenarnya yang bisa menjadikan etika dapat menembus individualisme, keinginan selalu menang sendiri, dan nafsu menghukum yang lain. Jadi tepat sekali gagasan Hans Kung. Apa yang baik bagi etika, yang disepakati oleh komunitas tertentu, tidak lagi dipenuhi persepsi pribadi. Hampir pasti nilai etika universal semakin meluas, menemukan momentum dengan kemanjuan teknologi, interaksi antarprofesi, batas-batas wilayah negara yang semakin mudah ditembus, dan hubungan antarberbagai budaya yang semakin intens.

Terakhir, sistem etika berjalan tidak terbatas di lingkup profesi. Masyarakat juga memilikinya dalam berbagai bentuk dan cara. Etika itu menyediakan disiplin tingkah laku yang disepakati sebagai nilai bersama yang harus ditegakkan. Penegakan terhadap etika merupakan bagian dari menjaga martabat kelompok, individu, dan sekaligus sebagai penanda kepatuhan terhadap kebaikan bersama yang harus ditegakkan. (Samsuri)

Tulisan ini pernah dimuat di buletin ETIKA Dewan Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar