Rabu, 16 Juni 2010

Inklusif Bersama Cak Nur


Tidak hanya umat Islam yang kehilangan dengan “kepergian” Cak Nur ---Nurcholish Madjid, seorang pemikir Islam moderen Indonesia, 29 Agustus lalu. Pemeluk agama lain patut berduka, bahkan untuk yang tidak beragama sekalipun. Betapa tidak, meski mayoritas pemikiran-pemikiran Cak Nur berangkat dari kitab suci Islam dan khasanah klasik kultur Islam, tetapi efek pemikirannya melintasi batas-batas agama dan kultur. Cak Nur menghadirkan Islam sebagai “agama” bagi seluruh agama dan kultur.

Dari semua pemikiran Cak Nur, ajaran tentang teologi inklusif paling berpengaruh bagi diri saya, dan saya yakin, juga bagi banyak orang. Bagi Cak Nur seorang pemeluk agama yang inklusif adalah seorang yang teguh berkeyakinan namun ramah pada perbedaan. Sikap inklusif yang dikehendaki itu diwujudkan dalam hubungan ke dalam, di internal agama, dan ke luar, antarpemeluk keyakinan.

Ketika saya masih aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi tempat Cak Nur tumbuh menjadi pemikir muda cemerlang pada masanya, saya bisa dengan sangat mudah memahami mengapa teologi inklusif menjadi keniscayaan: karena kita memang dicipta untuk berbeda. Pemaksaan untuk monolitik-homogen hanya akan berujung pada kehancuran peradaban, apalagi bagi Indonesia yang plural ---Sukidi membahas secara khusus persoalan ini dalam bukunya “Teologi Inklusif Cak Nur”.

Dalam teologi inklusif kita temukan ruang kebebasan berfikir dalam berkeyakinan. Sebuah anjuran untuk berani selalu mempertanyakan ajaran-ajaran yang (dianggap) mapan. Perkembangan sosial-politik negara dan masyarakat mengharuskan rekonstruksi-reinterpretasi terhadap ajaran terus dilakukan.

Melalui kebebasan berfikir ini-lah, saya percaya, Cak Nur berhasil memunculkan pemikiran-pemikiran orisinil, cemerlang, dan sekaligus kontroversial di sepanjang umurnya. Pemikiran-pemikiran itu diperdebatkan tidak hanya pada masanya, tetapi puluhan tahun kemudian. Ide-ide tentang “Islam Yes! Partai Islam No!”, “modernisme yang berarti rasionalisasi bukan westernisasi”, “sekularisasi bukan sekularisme”, dan “Islam-Kemoderenan-Keindonesiaan” hanya sedikit bukti keberanian Cak Nur untuk menggugat kemapaman.

Sebagai seorang tokoh dengan julukan “lokomotif pembaruan pemikiran Islam di Indonesia”, Cak Nur mewarnai saat-saat penting perubahan politik dan demokrasi di Indonesia. Kepedulian pada masa depan demokrasi Indonesia dibuktikan dengan tidak membiarkan demokrasi berjalan tanpa “campur tanganya”. Anas Urbaningrum dalam bukunya menyebut Islamo-Demokrasi sebagai ciri pemikiran Cak Nur tentang demokrasi: sebuah demokrasi yang menghadirkan “tuhan” tidak dalam bentuknya yang fulgar.

Saya mencatat, pemikiran Cak Nur yang paling berpengaruh dimulai dari slogan “Islam Yes! Partai Islam No!” di era 1980-an. Slogan ini bentuk gugatan terhadap partai politik Islam pada masa itu yang cenderung memperburuk image tentang Islam karena kinerja partai yang buruk. Di tahun 1990-an Cak Nur melontarkan keharusan keberadaan kekuatan oposisi pada saat kekuasaan presiden Soeharto sangat kuat. Cak Nur juga menjadi salah satu orang yang menganjurkan Soeharto mundur sebagai presiden tahun 1998. Terakhir, menjelang pemilihan umum 2004, Cak Nur bereksperimen dengan mengikuti konvensi calon presiden Partai Golkar, dengan modal 10 platform. Meskipun gagal menjadi calon presiden, karena kurang “gizi” (dana), Cak Nur berhasil mendorong demokratisasi dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia.

“…demokrasi kita ini ibarat pohon yang baru dipindah dari pot ke tanah… Itulah mengapa saya ingin melindunginya. Saya tak ingin itu mati prematur”, kata Cak Nur kepada wartawan Tempo menjelang pemilu 2004.

Keterlibatkan Cak Nur dalam politik tidak pernah menyebabkan baju “Islam kultural” ---sebagai penyeimbang Islam struktural yang identik dengan tokoh-tokoh Islam yang masuk dalam politik praktis dan birokrasi pemerintah--- yang melekat padanya menjadi kotor. Cak Nur tetap konsisten: Islam tidak harus terlembaga-formal dalam sistem demokrasi Indonesia. Terpenting nilai Islam bisa meresap ke seluruh sudut berdemokrasi dan bernegara, seperti ketika Islam masuk ke Indonesia dengan metode ---yang disebut Cak Nur--- “perembesan damai”.

Tidak hanya kita yang berduka, tetapi juga generasi kita nanti, jika kita gagal merawat ingatan kita pada pemikiran-pemikiran Cak Nur dan merayakannya dalam kehidupan kita. (Samsuri)

(Tulisan ini pernah dimuat di www.parasindonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar