Selasa, 29 Juni 2010

Efek 'Mesin Mainan' bagi Anak

BAGI kebanyakan orang yang sudah beranjak tua, perubahan hidup dalam 20 tahun terakhir ini dirasakan sangat luar biasa. Dulu, ketika televisi masih langka, seorang pemilik televisi harus rela televisinya diangkat ke halaman rumah untuk ditonton beramai-ramai. Kemeriahannya persis seperti ketika kita melihat orang Indonesia menyaksikan siaran langsung World Cup Korea-Japan dari layar raksasa yang dipajang di ruang-ruang terbuka sekitar dua tahun lalu. “Nonton bareng” namanya.

Berjubelnya orang menonton televisi tentu tidak akan kita jumpai lagi. Telah ada semacam pengakuan dalam masyarakat bahwa tidak lengkap rumah tanpa televisi, telepon, video compact disc (VCD) player, play station, komputer, juga internet. Untuk mendapatkan hiburan tinggal memilih yang paling disukai. Stasiun televisi semakin banyak bermunculan, play station bisa dibeli dimana-mana, sedangkan mengakses internet bukan hal sulit untuk dilakukan dari dalam rumah.

Perubahan akibat ditemukannya teknologi informasi yang semakin canggih selama dua windu terakhir ini, memang mengejutkan. Manusia semakin mudah untuk “menikmati” hidup dari rumah. Keakraban sebuah keluarga dilalui dalam rumah dengan layar tontonan yang bebas dipilih. Namun, dengan sadar kita harus bertanya, benarkah semua itu menjadi “kenikmatan” yang mendidik bagi kita dan masa depan anak?

Saat ini, anak menjadi obyek yang diperebutkan oleh media, terutama televisi. Stasiun-stasiun televisi punya program untuk anak, pagi, siang, atau sore. Tayangan dikemas dalam berbagai acara: kuis, film, musik, atau sinetron. Selain televisi, anak-anak juga disibukkan oleh “pendekar-pendekar” video game yang terus bermunculan dengan daya pikat tinggi. Karenanya banyak anak yang jadi maniak. Mereka memaksa diri untuk terus memainkannya, dengan mengunjungi tempat-tempat yang menyewakan play station atau menggabungkan video game dengan televisi di rumah.

Kita menyaksikan media (televisi) dan perusahaan modern telah berhasil bersekongkol untuk mendapatkan keuntungan besar dari anak. Dalam pandangan ekstrim, media dan perusahaan itu telah sukses mengeksploitasi anak, memberi candu konsumerisme. Celakanya, banyak orangtua tidak menyadarinya. Apa yang kita risaukan dengan fenomena ini?

**

Penelitian sosial tentang teknologi dan manusia selalu berhenti pada kesimpulan: teknologi menjadikan manusia terasing dari diri dan lingkungannya. Albert Borgman mencoba merumuskan itu dalam tiga persoalan: Pertama, hidup menusia bisa dipenuhi kekacauan, kelelahan dan frustasi akibat banyaknya presensi dari teknologi (telepon, televisi, dan game adalah contoh presensi) yang meminta perhatian secara terus-menerus. Kedua, teknologi menyuguhkan lebih banyak realitas maya daripada realitas empiris. Iklan yang dihadirkan televisi, misalnya, dapat memunculkan penyakit psikologi-sosial ketika kemampuan untuk membeli tidak sesuai dengan keinginan. Ketiga, teknologi menjadikan manusia bersikap individualis, mengalienasikan diri, bekerja dan berinteraksi jauh dari komunitas lokalnya.

Persoalan-persoalan di atas tentu saja tidak hanya dialami orang dewasa. Anak-anak yang setiap harinya berinteraksi secara intens dengan teknologi juga mengalami hal yang sama. Hanya saja, memang, mengidentifikasi gejala psikologi akibat teknologi bukan perkara gampang. Tapi, sebenarnya, gejala-gejala psikologi itu lebih mudah diamati melalui anak-anak. Tingkah laku mereka yang polos dan spontan menjadi lebih mudah untuk dideteksi, yang menandakan perkembangan dari hasil interaksi dengan lingkungannya.

Ada beberapa tanda buruk pada anak sebagai akibat dari teknologi. Yang paling tampak adalah bila anak telah lengket dengan mesin mainan mereka, kemudian waktunya banyak dihabiskan menyendiri, maka saat itulah dia mulai individualis, egois, dan mengalienasikan diri. Persoalan ini sebenarnya lebih disebabkan karena jenis mainan anak sekarang ini banyak yang sifatnya privat. Anak-anak akan merasa nyaman bermain jika tidak digangu orang lain. Berbeda sekitar 10 tahun lalu. Ketika itu mainan anak justru banyak yang hanya bisa digunakan bersama-sama. Selain itu, jenis mainannya juga bisa dibuat sendiri oleh orang tua.

Selanjutnya, tanda yang paling akut dari proses buruk ini adalah saat dimana anak merasa teman yang paling baik untuknya adalah “mesin”, bukan manusia. Kepuasaan diperolehnya dengan merengek dibelikan mesin mainan yang dapat dia nikmati sendiri di kamarnya.

Yang lebih mencemaskan terjadi ketika anak memaksa diri untuk mendapatkan mesin mainan dengan cara kejahatan. Akibatnya bisa sangat fatal. Contohnya terjadi pada Ricky (17) dan Ahmad (13). Dua murit kelas VI sebuah sekolah dasar di Jakarta itu dituntut Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat enam bulan penjara. Gara-garanya mereka mencuri televisi dan VCD player karena ingin bermain play stasion di rumahnya. Mereka mengaku, orangtuanya melarang televisi di rumah digunakan untuk bermain play stasion. “Saya menyesal mengambil televisi tersebut hanya untuk memuaskan dapat bermain play station sendiri,” kata Ahmad (Kompas, 14 April 2004).

***

Memberi perhatian lebih banyak kepada anak menjadi obat yang paling mujarab untuk menghindari berlarut-larutnya kelakuan buruk yang diperlihatkan anak. Dan harus diingat, pendidikan terbaik bagi anak adalah pengalaman. Kita harus bisa memberi pengalaman yang menarik untuk anak tentang bahagianya bermain dengan teman dan keluarga dibandingkan menyendiri bersama mesin. Secara rutin kita bisa mengajak anak mengunjungi keluarga sehingga mereka bisa merasakan kebahagiaan yang tidak didapat dari mesin mainannya.

Mengintensifkan komunikasi menjadi kunci bagi orangtua untuk bisa memahami keinginan dan gejolak jiwa anak. Namun, persoalannya, terutama di kota-kota besar yang sibuk, orangtua tidak lagi punya banyak waktu untuk anak. Pembagian peran domestik untuk perempuan (istri) dan publik untuk laki-laki (suami) sudah dianggap tidak relevan lagi. Untuk mengasuh anak, jalan keluarnya ditempuh dengan menyewa baby sitter. Padahal, tidak semua orang bisa beruntung mendapatkan pengasuh anak yang baik. Kalau pun mendapatkannya, percayalah, bagi anak pengasuh bayaran akan tetap sebagai ‘orang asing’. Kasih sayang dan perhatian orang tua menjadi segalanya. (Samsuri, 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar