Rabu, 25 Maret 2009

Konflik Sampit Dalam Liputan Media

Judul Buku:
Media dan Konflik Etnis
(Bagaimana Suratkabar di Kalimantan Meliput
dan Memberitakan Konflik Sampit Tahun 2001)
Penulis:
Eriyanto et.al.
Penerbit:
Institut Studi Arus Informasi (ISAI)
dengan Media Development Fund, Februari 2004
Tebal:
ix + 153 hlm


Meliput konflik bagi wartawan menjadi pekerjaan sulit dan berbahaya. Dibutuhkan tidak sekadar kemampuan jurnalistik, tetapi juga kesiapan psikologis. Apalagi jika yang diliput adalah konflik etnis atau agama yang bersinggungan dengan identitas sosial-kulturnya. Saat itulah dia membutuhkan nurani dan keberanian untuk bersikap, antara tuntutan profesi dengan identitasnya. Dia harus menyadari, setiap pilihan punya konsekwensi berbahaya.

Bayangkan saja, bukankah pekerjaan yang sulit, ketika seorang wartawan menyaksikan puluhan saudaranya dibunuh dalam sebuah pembantaian? Bagaimana tidak dilematis ketika lingkungannya menuntut patriotisme atas “perjuangan” mereka? Sementara di sisi lain profesinya mengharuskan dia menulis dengan proporsi berimbang, obyektif, dan jauh dari prasangka.

Semua ini hanyalah sedikit persoalan sulitnya wartawan ---dan juga pengelola media--- meliput serta menyuguhkan berita tentang konflik. Yang sebenarnya terjadi barangkali lebih kompleks dari yang dibayangkan. Namun, sesulit apapun pilihan, media harus menyadari dirinya menjadi bagian penting dari sebuah konflik. Berita-berita media bisa menjadi kampanye efektif bagi upaya rekonsiliasi konflik, atau sebaliknya, menyulut konflik yang lebih luas dan ganas.

Mereka yang berkonflik pasti akan berusaha menguasai media sebagai salah satu upaya memenangi konflik, baik dengan cara kekerasan maupun kelembutan. Dukungan media diyakini akan memberi image positif tentang “perjuangan” mereka. Di wilayah konflik, mereka yang bertikai akan memaksakan rumor, cerita fiktif, dan propaganda menjadi berita. Media yang tidak memiliki keberanian, profesionalisme, dan independensi berpotensi besar mengikuti kemauan mereka.

Begitulah yang terjadi pada beberapa media di Kalimantan Tengah ketika meliput konflik Sampit tahun 2001. Dua media di sana, Kalteng Pos dan Dayak Pos, tidak mampu mengambil jarak dengan salah satu pihak yang bertikai. Buku ini menyuguhkan dengan lengkap analisa tentang kecenderungan yang terjadi pada media-media tersebut selama konflik. Tidak hanya itu, dengan menggunakan metode content analysis dan wawancara, buku Media dan Konflik Etnis ini juga menyuguhkan hasil analisa berita-berita media lain yang terbit di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.

Sebab Konflik
Tentang sebab pertama konflik Sampit, muncul beberapa versi. Versi yang paling dipercaya menerangkan, konflik yang menewaskan kurang lebih 500 orang itu berasal dari perkelahian di sebuah bar karaoke di perkampungan kumuh di Kereng Pangi yang terletak antara Sampit dengan Palangkaraya. Keributan kecil antara beberapa warga Dayak dengan warga Madura pada petang hari, 15 Desember 2000, itu berakhir dengan tewasnya seorang warga. Malamnya, keributan meluas, terjadi pembakaran beberapa bar karaoke dan rumah penduduk. Keributan tersebut sebenarnya telah berhasil diredam. Namun, pada 18 Februari 2001 kekerasan muncul kembali setelah berhembus isu mengenai bakal terjadinya kerusuhan yang lebih luas di Sampit.

Temuan lain menunjukkan, pemicu konflik Sampit yang sesungguhnya bukan (hanya) persoalan perkelahian. Insiden tersebut hanyalah letupan kecil yang kemudian disambar oleh persoalan sosial-politik-ekonomi yang selama ini mengendap di kehidupan masyarakat Kalimantan.

Buku ini coba membedakan penyebab konflik Sampit dalam dua tingkat, yaitu makro dan mikro. Sebab makro meliputi adanya marjinalisasi yang dirasakan masyarakat Dayak di hampir semua aspek kehidupan. Kemudian juga disebabkan terjadinya gesekan budaya antara suku Dayak dengan Madura. Sedangkan sebab mikro adalah adanya persaingan elite politik lokal dan kesan yang kuat bahwa warga Madura, sebagai pendatang, tidak dapat hidup membaur dengan warga Dayak (hlm. 11).

Mistifikasi Berita
Media di wilayah konflik selalu sulit untuk memenuhi prinsip-prinsip dasar dalam jurnalisme. Begitu juga yang terjadi pada media-media di Kalimantan. Berita-berita mereka tentang konflik Sampit selama periode Februari-Mei 2001 sangat sedikit yang melalui proses cek-ricek dan memenuhi prinsip cover both sides. Kalteng Post dan Dayak Pos, misalnya, sebanyak 54,3 % dan 49, 1% dari total berita mereka tentang konflik Sampit tidak melalui cek-ricek. Parahnya lagi, hanya sekitar 30 % berita dari kedua media di Kalimantan Tengah tersebut yang memenuhi cover both sides.

Ketidakmampuan media di Kalimantan untuk melakukan cek-ricek dan cover both sides menyebabkan berita-berita mereka banyak yang bias. Yang diuntungkan dengan kondisi ini adalah suku Dayak. Konflik Sampit yang lebih dilihat sebagai persoalan suku daripada masalah ekonomi dan politik, telah mengarah pada penjustifikasian bahwa warga Madura sebagai pendatang menjadi penyebab konflik. Media banyak yang menggambarkan warga Madura sebagai pendatang yang tidak ramah serta sering membuat ulah. Akibatnya, warga Dayak kesal dan melakukan pengusiran secara besar-besaran (hlm. 73-74).

Berbeda dengan media-media di luar Kalimantan Tengah. Mereka berupaya melihat konflik Sampit secara lebih utuh, tidak hanya sekadar konflik horisontal yang bersumber dari “kesalahan” warga Madura. Misalnya Banjarmasin Post (salah satu media yang terbit di Kalimantan Selatan), melihat perseteruan di tingkat elite politik lokal sebagai menyebabkan terjadinya marginalisasi warga Dayak secara politik-ekonomi.

Hal lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah mengenai banyaknya berita berbau mistik selama konflik Sampit. Cerita mistik itu di antaranya mengenai Panglima Burung dan Mandau Terbang di lingkungan suku Dayak. Seperti apakah Panglima Burung diinformasikan oleh media lokal? Dari beberapa surat kabar, tabloid Bebas adalah yang paling banyak memberitakan Panglima Burung dalam laporan utamanya. Tabloid yang menjadi salah satu anak perusahaan Banjarmasin Post (kelompok Gramedia-Kompas) ini secara umum menggambarkan Panglima Burung sebagai pria berwajah tampan tapi menakutkan. Dia gagah, sakti mandraguna, bisa terbang menembus hutan dalam hitungan detik, dapat berubah-ubah wujud misalnya dari manusia menjadi burung, dan bisa membunuh seribu orang dalam sekejab. Versi lain menceritakan, Panglima Burung adalah wanita cantik yang telah hidup ratusan tahun, dapat dipanggil warga Dayak kapan saja, serta kekuatannya bisa menitis (hlm. 125-126). Penggambaran tentang sosok Panglima Burung ini ditulis bersumber dari hasil wawancara dengan warga Dayak. Karena, memang tidak ada satupun wartawan yang berhasil mewawancarai Panglima Burung.

Cerita-cerita mistik inilah yang membedakan konflik Sampit dengan konflik-konflik lain yang pernah terjadi di Indonesia. Selama konflik Sambas, misalnya, cerita-cerita mistik yang berkembang di sana tidak terlalu menyita perhatian media. Warga Dayak selama ini memang dikenal akrab dengan hal-hal berbau mistik. Dan ketika konflik terjadi, persoalan tersebut muncul, menyebar, dan sulit dibantah. Seperti kata ideolog: kebohongan tentang apapun jika dipercayai oleh banyak orang dan diinformasikan terus menerus maka ia bisa dianggap sebagai “kebenaran” oleh masyarakat. Media lokal mengaggap persoalan mistik sebagai isu seksi yang layak jual. Akibatnya sangat merugikan. Sisi kemanusian akibat konflik dan upaya-upaya mencapai rekonsiliasi sedikit sekali terungkap ke permukaan. Yang sering muncul justeru berita-berita tentang kepahlawanan tokoh-tokoh misterius.

Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari penelitian ini? Sayang, buku ini tidak membuat rekomendasi yang terpisah, simple, dan utuh. Namun, kita tetap bisa melihat poin-poin penting yang layak diperhatikan. Pertama, dimana dan apapun penyebab sebuah konflik, selalu saja ada media yang partisan: tidak mampu mengambil jarak dengan salah satu pihak yang bertikai. Kedua, di wilayah konflik, sangat mungkin media memproduksi cerita menjadi “realitas”, fiksi jadi “fakta”, propaganda jadi “kebenaran”. Disini masyarakat bisa belajar, bahwa ada media yang mengambil keuntungan dari konflik. Tetapi jangan lupakan, juga ada media yang berupaya melihat konflik secara utuh, dengan memberi perhatian khusus pada aspek kemanusiaan dan perdamaian.(Samsuri)

Jakarta, 2004

1 komentar:

  1. Anonim7:08 AM

    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus